Thursday 12 January 2017

[RESENSI] Critical Eleven

RESENSI Critical Eleven

Penulis                         : Ika Natassa
Editor                          : Rosi L. Simamora
Desain Cover              : Ika Natassa
Penerbit                       : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Hlm                 : 344 hlm, 20 cm
ISBN                           : 978-602-03-1892-9
Cetakan kesembilan    : Januari 2016




SINOPSIS

Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat―tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing―karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It’s when the aircraft is most vulnerable to any danger.
In a way, it’s kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah―delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.
Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sidney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada suatu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.
***********

RESENSI
Pertemuan Ale dan Anya pada sebelas menit paling kritis di dunia penerbangan menjadi awal pendekatan mereka sebelum akhirnya kedekatan itu menjadi intens hingga pada akhirnya mereka menikah. Keduanya melalui perjalanan hidup sebagai pasangan yang sempurna dan membuat iri banyak orang yang memandang, hingga kesempurnaan yang berjalan selama empat tahun kemudian itu harus tercoreng pada tahun kelima pernikahan mereka.
Sebuah tragedi besar yang menimpa hidup Ale dan Anya kemudian membuat mereka bertanya-tanya akan arti pernikahan yang mereka jalani selama ini, hingga kilasan-kilasan masa lalu yang begitu indah mereka lalui pun satu persatu menghampiri, memberikan gejolak batin yang tak bertepi.
Bagiku, buku ini sedikit melenceng dari sinopsis yang tertera yang kemudian mevisualkan benakku akan lokasi cerita yang sepenuhnya berada di dalam pesawat, di sebelas menit paling kritis itu, seperti buku Angel And Demons karya Dan Brown yang begitu tebal namun setting cerita hanya selama sejam saja. Namun ternyata setting cerita buku Critical Eleven ini meruntut jauh sekali pada kehidupan mereka selanjutnya, yang pada akhirnya akan membawa mereka kembali ke ingatan saat pertemuan pertama di sebelas menit paling kritis itu.

Kaver:
BIRU! Adalah seruan pertama saya ketika melihat buku ini mejeng di toko buku. Bagi saya biru itu ‘sesuatu’ yang selalu mengingatkan saya pada lautan tak berujung di bawah lazuardi yang mengantarkan saya pada kenyamanan tak kasat mata membayangkan saya tengah menggelar tikar di pantai menikmati pemandangan indah serba biru yang menakjubkan. Dan lagi, penampakan kaver ini memang tentang pesawat yang tengah mengudara di langit yang biru, jadi klop! Tanpa ragu-ragu kubawa pulang satu. Eh, tapi bayar dulu, deng, di kasir.
Ini adalah karya Ika Natassa pertama yang saya baca, dan jujur, langsung bikin saya jatuh cinta. Meski pun kepala dibuat oleng dengan bab pembuka yang penuh dengan kalimat berbahasa Inggris, yang karena memang kemampuan bahasa Inggris saya pas-pasan, akhirnya harus baca tertatih-tatih, kata perkata sambil menerjemahkan sebisa saya. Begitu membaca kalimat Indonesia, langsung lega tak terkira, dan otak begitu lezat menikmati gaya bahasa tulisan yang begitu sehari-hari, dan amat mudah dimengerti. Meski pun lagi-lagi harus banyak diselingi kalimat bahasa Inggris yang bikin mengerutkan dahi.

Setting:
Jakarta sedemikian kuatnya, sehingga siapa pun yang pernah bersentuhan dengannya tidak akan pernah jadi orang yang sama lagi. Jakarta membuat semua yang ada di dalamnya harus meredefinisikan semua tentang diri mereka sendiri. Meredefinisikan makna rumah, makna keluarga, hubungan, makna waktu. Redefining what matters, and what doesn’t.” (Hal. 143)
Saya suka sekali bagaimana penulis mendefinisikan Jakarta, tepat seperti yang saya pikirkan, namun sulit saya utarakan. Setting cerita yang memang sebagian besar di Jakarta ini membawa saya menjelajahi beberapa tempat yang saya kenal dan tidak saya kenal di Jakarta. Membayangkan rasa ketoprak Ciragil yang saya sendiri tidak tahu hanyalah fiksi atau nyata, namun bikin ngiler karena selalu disebut-sebut dalam cerita. Karena cerita ini menggunakan alur maju-mundur yang menurut saya memang penting, maka setting cerita begitu cepat berubah, dari Jakarta, ke Singapur, atau New York, sebentar di Teluk Meksiko, dan kebanyakan di rumah Ale dan Anya juga di Mall. Paling senang dengan acara kuliner mereka yang bikin laper baper. Dan dari semua tempat itu, ada satu tempat yang bikin hati saya nyes, bahkan melebihi beach house di East Hampton―tempat Ale dan Anya bulan madu, yaitu bandara dan bagaimana cara penulis mendeskripsikannya begitu cantik sedemikian rupa dalam sosok Anya.
“Airport is the least aimless place in the world. Everything about the airport is destination. Semua yang ada di bandara harus punya tujuan. Bahkan tujuan itu jelas di secarik kertas. Boarding pass. Setiap memegang boarding pass, aku merasa hidupku akhirnya punya tujuan,....” (Hal. 6)

Sudut Pandang:
Membaca buku ini sedikit banyak mengingatkan saya pada cerita Audy dan Ibi pada buku Sunset Holiday karya pasangan Nina Ardianti dan Mahir Pradana. Menggunakan sudut pandang kedua tokoh sentral secara bergantian, yang keduanya sudah mengunjungi begitu banyak negara, kurang lebih sama dengan tokoh Ale dan Anya. Bedanya, Audy dan Ibi mengunjungi banyak negara karena memang sengaja ingin berkeliling dunia, sementara Ale dan Anya banyak mengunjungi negara lain karena pekerjaan mereka.
Dengan dua sudut pandang yang bergantian dari sosok Anya kemudian Ale ini menurut saya sangat fair sehingga pembaca tidak bisa asal menghakimi siapa yang bersalah ketika masalah mendera hubungan keduanya. Namun, karena dua sudut pandang ini pula saya melihat adanya keberpihakan pada sang tokoh yang bercerita, membenarkan sikap dan tindakan mereka sendiri, yang memang bagi saya wajar karena manusia tidak terlepas dari sifat egois. Dan kerennya, dengan dalih dan alasan yang dikemukakan tokoh pada sudut pandang mereka itulah yang bagi saya menghidupkan cerita dalam buku ini sendiri. bikin greget, hidung mampet karena nangis berkali-kali, dan senyam-senyum di beberapa adegan.  

Tokoh:
Tanya Laetitia Baskoro atau yang akrab disebut Anya ini memiliki ciri fisik yang sumvah, diidam-idamkan banget sama seluruh perempuan di penjuru negeri. Belum lagi sifatnya yang easy going, memandang segala sesuatunya dengan blak-blakan, rajin salat, dan pengertian banget sama suami yang jarang pulang, udah delapan puluh lima persen masuk kriteria lelaki ketika mencari isteri. Tapi tentu saja gak ada manusia yang sempurna di dunia ini, kan? Anya ini sentimental banget. Sulit sekali melupakan kesalahan orang meski pun sekali, walau pun kebaikan orang itu udah berkali-kali. Membaca karakter Anya ini mengingatkan saya pada sosok Barbie yang gak bisa dan gak boleh disakiti sama sekali. Karena sekalinya disakiti.... Jedeerrr! Tanya sendiri tuh ke Ale yang udah jadi korbannya. Dan yang saya sukai dari sosok Anya ini, dia juga menyadari kekurangannya tersebut, namun entah kenapa dia sulit sekali menutupi kekurangannya itu. Perhatiannya terhadap keluarga pun bikin saya salut, karena Anya bukan tipe yang terburu-buru mengambil keputusan, namun memikirkan banyak hal yang harus dia korbankan bila harus bersikap egois.
Yang saya sadari bahwa saya enggak bisa jadi perempuan yang kabur begitu saja meninggalkan suami. Saya enggak bisa mencampakkan begitu saja ibunya dan ayahnya yang sudah sedemikian baik kepada saya, mencampakkan adik-adiknya, dan yang paling penting, saya enggak bisa membiarkan papa dan mama saya yang tersudut harus menjelaskan kepada keluarga suamiku kenapa anak perempuan satu-satunya kabur begitu saja menelantarkan suami.” (Hal. 154)
Ada lagi Aldebaran Risjad. Bukan cuma suka banget sama namanya, tapi saya juga suka banget sama karakternya. Salah satu sahabat baik saya pernah bilang bahwa wanita sekeras apa pun pasti akan luluh dengan perhatian lelaki yang tidak pernah berhenti memerjuangkan dirinya. Yap. Itulah sosok Ale menurut saya. Bener-bener sosok yang cuma ada dalam cerita fiksi, yang bukan hanya tahan menahan siksaan hati, tapi juga tahan menahan siksaan fisik yang gak pernah dapet jatah dari isteri. Ale memiliki ciri fisik dengan nilai di atas rata-rata yang kurang lebih sama dengan Anya, sebagai lelaki yang diidam-idamkan untuk menjadi suami. Benar-benar pasangan yang sempurna. Pengertian dan sikap protektifnya juga tanggung jawabnya Ale luar biasa. Begitu menghargai isteri, seolah-olah saya berubah menjadi Anya dan merasakan kenyamanan yang teramat pada perlindungan Ale dan betapa berharganya saya di mata lelaki itu.
Pecundang gue namanya kalau seenaknya menyerah dan melepas kunci kebahagiaan Anya ke orang lain. Gue yang bertanggung jawab sampai gue mati. Sewaktu gue mengucapkan ijab kabul, sejak itu pula gue sendiri yang harus berusaha sebisa yang gue mampu bahkan lebih untuk membuat dia bahagia, bagaimana pun caranya. Karena itu gue tetap di sini. Sudah menadi kewajiban, tugas, tanggung jawab, dan misi gue untuk mengembalikan senyum itu ke bibir isteri gue. Hak gue juga sebagai suami dia, bukan orang lain.” (Hal. 317)
Kurang sweet apa coba Ale?
 Ada juga julukan ‘Tukang Minyak’ yang dia sandang, yang memang bukan tukang minyak biasa, tapi tukang minyak yang terjebak di tengah lautan lepas berbulan-bulan lamanya, dengan gaji yang saya tahu sungguh luar biasa jika bekerja di bidang itu. Hal itu juga terbukti dengan sifat foya-foya Ale terhadap hobinya. Sifat kekanak-kanakan yang menjadi salah satu kekurangan tokoh Ale.  Tapi julukan ‘Anjis’-nya (yang penasaran artinya baca sendiri ya bukunya...) bikin saya gak berhenti senyum.
Ada banyak tokoh pendukung yang penting dan menarik perhatian saya. Yang pertama adalah kedua tokoh Tara dan Agnes, sahabat Anya, yang gokil gila, namun selalu ada ketika Anya bersedih dan memerlukan tempat untuk bersandar.
Yang kedua, adalah sosok Harris dan Raisa, kedua adik Ale yang bikin cerita ini lebih berwarna. Dua tokoh ini selalu bikin gereget karena berhasil menjadi banget adik banget yang suka memanfaatkan kakaknya.
Sosok Tini sebagai ART dan Pak Sudi sebagai supir Ale dan Anya pun, sukses bikin cerita ini makin meriah. Keduanya sigap banget menjalankan perintah majikan, bikin saya berandai-andai punya orang-orang seperti mereka yang siap siaga melayani keperluan saya.
Yang terakhir adalah Bapak Jendral, ayah Ale, dan ibunya. Karakter keduanya memang khas orang tua banget yang sering saya temui di sekitar saya. Dan karakter Ale pula benar-benar mewarisi ayahnya sebagai pembuat kopi yang enak, juga kesetiaan terhadap pasangan yang tak terkikis cobaan.

Konflik:
Permasalahan yang terjadi dalam cerita kurang begitu memuaskan dahaga membaca saya. Meski pun saya berharap tiba-tiba ada masalah lain yang membuat konflik kian memanaskan hubungan Ale dan Anya, nyatanya konflik itu hanya ada seputar pergolakan batin mereka. Namun karena gaya penulis dalam membuat alur maju-mundur yang sempurna, sehingga sosok Ale dan Anya terasa begitu nyata di benak saya, membuat cerita ini begitu brilian di mata saya.
Kekurangan yang saya tangkap mungkin dari ketiadaan batas atau jeda atau garis miring dalam membedakan alur maju dan mundur dalam cerita. Sekejap membaca alur biasa, sekejap kemudian sudah di bawa ke masa lalu tanpa tedeng aling-aling, sehingga sedikit agak lupa berorientasi sedang dimana saya dibawa di dalam cerita. Namun saya sendiri sulit mengartikan ini kekurangan atau kelebihan penulis, karena meski pun tanpa batas atau jeda atau garis miring ketika dibawa mundur dalam cerita, masih dalam paragraf yang sama saya langsung bisa menyimpulkan bahwa saya di bawa maju atau mundur lagi, dan hanya beberapa detik kehilangan orientasi. Teknik menulis seperti itu amazing banget buat saya.
Dan, bagi saya yang kurang bisa menguasai bahasa Inggris, cerita dalam buku yang banyak sekali menggunakan kalimat bahasa Inggris menjadi kekurangan pribadi bagi saya. Membuat saya yang sedang enak-enaknya menikmati aliran cerita, langsung tersendat begitu sampai pada kalimat bahasa Inggris yang perlu sampai tiga kali pengulangan saya baca. Saya juga tidak menemukan typo sama sekali. Entah karena begitu asyiknya saya terbawa alur cerita sehingga melewatkan typo yang ada, atau memang typo itu tidak ada sama sekali, saya merasa takjub mata saya masih betah membaca buku tebal ini hanya dalam sekali duduk.


Unforgetting Moment:
Bagian tak terlupakan yang paling berkesan bagi saya dalam cerita justeru ketika berada di akhir cerita. Ketika tiba-tiba Anya akan mengatakan hal menakjubkan kepada Ale yang membuat dada saya berdebar-debar tak sabar, dan..................................... (nangis guling-guling)
Ada lagi pesan yang saya tangkap jelas dalam cerita ini, bahwa tidak pernah ada hubungan yang sempurna di dunia ini, yang ada hanyalah orang-orang yang berusaha memertahankannya. (mengutip dari kata-kata Winna Effendi).

Movie:
Udah santer banget bahwa buku ini akan difilmkan, bahkan sudah ada artis yang memerankan tokoh-tokoh dalam cerita. Saya berharap alur cerita bisa lebih berkembang dengan tambahan konflik yang kian pelik, namun tidak menghilangkan esensi cerita. Para artis yang terpilihpun harus bisa memerankan sedemikian rupa para tokoh dalam cerita, terutama tokoh sentral, dengan pergolakan batin yang luar biasa menantang mimik wajah agar mengena ke penonton dan tereksekusi dengan baik. Saya dibuat nangis di lebih dari lima adegan di dalam buku, dan saya ingin dibuat menangis lebih banyak lagi dalam filmnya nanti.

Rekomendasi:
Meski pun bertema romansa berumah tangga, buku ini cocok dinikmati untuk pembaca di atas 17 tahun. Tidak usah berharap ada adegan surrr dan saya menghargai sekali tidak ada adegan segamblang itu di dalam cerita, hanya seperkian persen saja. Makanya masih bisa dinikmati oleh pembaca yang masih belum menikah. Sukur-sukur yang udah nikah ikutan baca juga, karena banyak sekali pembelajaran berumah tangga di dalam cerita.

My Favorite Quotes:
Buanyak bingit. Sampai saya takjub karena di setiap kalimat penjelas selalu terselip kata-kata yang ngena banget sampai ke hati. Belum lagi penulis memadukan banyak sekali perumpaan dari film, buku, dan tokoh penting yang ada di dunia nyata. Bikin cerita makin ciamik dan renyah. Beberapa quotes yang saya sukai:
1.      Berani menjalin hubungan berarti berani menyerahkan sebagian kendali atas perasaan kita kepada orang lain. Menerima fakta bahwa sebagian dari rasa kita ditentukan oleh orang yang menjadi pasangan kita. (Anya) (Hal. 8)
2.      Di tempat yang paling seru sekali pun, kita pasti punya batas kebetahan di situ. (Ale) (Hal. 12)
3.      Hidup ini jangan dibiasakan menikmati yang  instan-instan, Le, jangan mau gampangnya saja. Hal-hal terbaik dalam hidup justru seringnya harus melalui usaha yang lama dan menguji kesabaran dulu. (Bapak Jendral kepada Ale) (Hal. 34)
Dan masih banyak lagi. 5 bintang untuk buku ini.








1 comment:

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete

Kritik dan saran merupakan mercusuar penghibur jiwa yang telah tersesat dalam langkahnya...

[REVIEW] Momiji

Penulis             : Orizuka Penyunting      : Selsa Chintya Penerbit           : Penerbit Inari Penyelaras       : Brigida Ru...