Friday 18 April 2014

Dalam Diriku

Dalam diriku, mengalir campuran darah ayah dan ibu. Maka sejak 22 tahun yang lalu aku mulai mengenal dunia. Menghirup udara melalui rongga dada dan merasakan beratnya kehidupan ketika mulai beranjak dewasa. Ayah pergi meninggalkan aku saat usiaku sekitar 6 atau 7 tahun ( entahlah, aku terlalu kecil untuk mengingat berapa usiaku waktu itu). Maka sejak itu aku terlempar ke Karawang dan mulai membentuk diriku sendiri tanpa orangtua. Dalam kehidupan pesantren kanak-kanak yang  panjang namun terasa begitu singkat, aku mulai memahami fakta bahwa aku harus bisa mandiri menyadari bahwa orangtuaku hanya satu. Sepanjang usia itu aku dibekali dengan ilmu agama yang sedikit besar dapat menopang kehidupanku diluar sana.
Setelah lulus sekolah dasar, aku sudah mulai bisa menentukan kemana aku akan pergi. Aku memutuskan untuk kembali ke kampung halaman dan melanjutkan sekolah di Madrasah Tsanawiyah. Uniknya, di madrasah ini, meski sudah didunia luar, namun aku masih bisa merasakan nafas pesantren yang baru saja kulalui hingga tanpa kusadari, di sekolah inilah jati diriku mulai perlahan terbentuk. Merasa sangat nyaman dengan kehidupan di sekolah ini, maka kuputuskan untuk melanjutkan ke Madrasah aliyahnya juga. Lalu disinilah aku mulai merasa terbina oleh orangtua yang berwujud sekolah.
Dalam lingkungan yang benar-benar menomorsatukan agama ini, aku mulai berfikir untuk lebih memahami kondisi hidupku saat ini. Sangat berat tentunya tumbuh besar tanpa merasakan kasih orangtua seutuhnya. Namun ketika menengok lebih dalam lagi, aku tahu bahwa kasih ibu padaku sudah melebihi batas hidupnya. Hal itu dapat kulihat kerasnya beliau bekerja hingga tak ada sedikit waktu pun yang bisa disisihkannya untukku. Maka, inilah aku. Dalam diriku.
Dalam lingkungan keluarga, ibu bilang aku malas. Tapi bila menyimak kembali kisah kecilku, mungkin hal itu terjadi karena tak ada seorang pun yang pernah menyuruhku untuk bersikap lebih rajin. Aku terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri hingga terkadang aku membantah jika diperintah. Ibu bilang aku kuper (kurang pergaulan) dan itu bisa dibuktikan dengan betapa gapteknya aku. Tapi aku bisa membantah bahwa aku begitu karena tidak adanya fasilitas mewah sepanjang perkembangan hidupku.
Ketika singgah kerumah sahabat, bukan satu dua kali aku selalu ingin menangis karena merasa irinya aku pada mereka yang hidup utuh bersama kedua orangtua. Tapi terselip satu hal yang kusyukuri, bahwa kesendirian menjadikan aku lebih mandiri. Aku adalah orang yang paling tak bisa jauh dari rumah. Namun jika sudah berkumpul bersama teman-teman, rasanya niat untuk pulang saja tak ada. Dalam lingkaran canda tawa dan suka duka bersama mereka, aku menemukan sosok keluarga. Aku selalu ingin berlama-lama dengan mereka sampai lelah, hingga batas waktu kerja ibuku selesai dan setidaknya aku bisa menemukan suara lain di dalam rumah, bukan lagi hanya suaraku dan televisi saja.
Aku orang yang tak mudah bergaul dengan lawan jenis. Aku sadar betul akan hal itu. Sampai salah seorang sahabat dekat memvonisku takut pada pria. Sebenarnya tidak seperti itu. Aku hanya merasa tidak pernah dalam separuh hidupku lebih mengenal sosok laki-laki, bahkan ayahku sendiri. Tapi setelah kupikir-pikir, mungkin karena ketidakhadiran ayah pula lah maka aku tak tahu sebenarnya para lelaki itu seperti apa. Atau mungkin juga karena kebetulan semua sahabatku adalah wanita. Entahlah. Aku sendiri tak tahu pasti apa alasannya.
Kembali dalam diriku.
Aku menemukan nafas ibu yang hampir habis karena aku. Maka hanya dengan mengingatnyalah aku yang setegar ilalang kembali menjadi rapuh. Hanya beliau alasanku untuk tetap bertahan menjalani kehidupan yang kurang beruntung, seperti halnya beliau yang masih terus bertahan hidup demi aku. Jika berpikir picik, aku bisa saja menghianati kepercayaan ibu lalu hidup bebas diluar sana, melakukan sesuatu yang orang-orang tanpa kasih sayang lakukan, lalu hidup seutuhnya demi kesenanganku. Tapi sayangnya, aku takan pernah bisa tega melakukan hal itu. Bukan lantaran aku tak terbiasa bermain bebas diluar sana, namun karena aku tahu perbuatan itu akan membuat murka tuhanku.
Aku senang menjadi seseorang yang bisa diandalkan teman-temanku. Aku senang bisa menjadi seseorang yang bisa menopang mereka dikala ada masalah. Sempat aku bertanya mengapa mereka bisa mempercayakan kisah buruk mereka padaku. Namun seiring berjalannya waktu, jawaban itu pun akhirnya terlintas sendiri. Benar, setelah merenung, aku sadar mungkin karena takdir kelam hidupku, maka mereka berfikir mungkin hanya aku orang yang tahu solusi permasalahan hidup mereka. It’s ok. Aku senang karena setidaknya mereka membuatku berpikir bahwa ada gunanya aku hidup di dunia. Bukan berarti aku orang yang tidak pernah mengeluh. Lebih tepatnya aku orang yang selalu mengeluh. Pada ibu, teman, bahkan tuhanku. Aku orang yang selalu menyusahkan orang lain. Lebih tepatnya, aku orang yang selalu ingin didengar. Bahkan harus berteriak untuk mendapat perhatian. Sampai cap cerewet pun akhirnya harus mau tak mau kusandang. Tahu hal beruntung yang kudapatkan? Aku bisa bermanja sedikit pada mereka, sesuatu yang tak pernah kudapatkan dari siapapun sebelumnya.
Aku ingin sekali membahagiakan ibu. Setiap bait doa tak pernah lepas dari harapan ingin mati sebelum beliau. Atau jika bisa aku ingin hidup selamanya sampai kami berdua akhirnya bisa merasakan bahagia. Maka dari itu, aku adalah orang yang sangat menghargai hidup. Terbukti aku sukses menjadi makhluk obesitas (sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali). Bukan. Tapi aku orang yang sangat menikmati setiap detik kehidupan. Langit, bumi, hutan, lautan, bahkan petir dan hujan adalah sesuatu yang selalu tampak indah dan bermakna dalam kilasan mata. Aneh bukan? Tapi itulah aku, dengan sisi teraneh dalam diriku. Dengan begitulah aku berteman dengan semesta alam dan menklaim jauh sosok kesepian.
Beberapa sahabat mengatakan bahwa aku cerdas. Hal inilah yang sulit kucerna dalam pikiran. Apakah karena terbiasa menyelesaikan masalah ku sendirian?  sebenarnya tidak juga. Bukan karena terbiasa menyelesaikan masalah sendiri, tapi karena tidak ada orang yang benar-benar mengerti dengan masalahku ini hingga akhirnya memang harus aku yang menyelesaikannya sendiri. dan hal yang tak bisa kusangkal  bahwa aku orang yang berfikir irit yang ternyata dalam pandangan orang adalah pelit. Sebenarnya aku tak suka dibilang begitu, karena sampai kapanpun mereka takan bisa mengerti betapa sulitnya hidup yang aku jalani. Untuk hal ini, aku lebih rendah hati untuk menerima semua cercaan buruk dalam diriku karena dengan begitu aku bisa terus ingat dan sadar diri bahwa masih ada ibuku yang terus berjuang demi sesuap nasi.
Dalam diriku, kutemukan sifat yang selama ini tersembunyi dan baru akhir-akhir kusadari. Semua orang tahu dan mengerti. Semua yang mengenalku paham dan terus mengumbarnya sampai aku bungkam dan sadar sendiri. katanya aku egois sekali. Inginnya menang sendiri. inginnya dimengerti tanpa mau mengerti. Untuk hal ini, aku sepertinya setuju sekali. Terbukti bukan dengan semua bantahan yang kuucapkan disemua paragraf dalam ketikan tangan?

Sepertinya saat ini aku tengah menyesuaikan diri dengan kepribadian ini. Semoga masih bisa diperbaiki dikemudian hari. Yang pasti, tak pernah ada yang kusesali dari pahitnya kehidupan yang kujalani. Karena semua yang telah kulewati telah membentuk diriku menjadi seseorang yang seperti ini tanpa kusadari. Masih banyak waktu untuk merubah kehidupanku yang suram menjadi terang benderang. Akan ada waktunya. Pasti. Itulah yang kulakukan setiap hari. Bertawakal dan berusaha menjemput  janji tuhan yang indah dalam hidupku dan dalam diriku.

[REVIEW] Momiji

Penulis             : Orizuka Penyunting      : Selsa Chintya Penerbit           : Penerbit Inari Penyelaras       : Brigida Ru...