Friday 24 November 2017

[REVIEW] Momiji



Penulis             : Orizuka
Penyunting      : Selsa Chintya
Penerbit           : Penerbit Inari
Penyelaras       : Brigida Ruri
Jumlah Hlm     : 210 hlm, 19 cm
ISBN               : 978-602-60443-8-9

SINOPSIS
Patriot Bela Negara lelah punya nama seperti itu, terutama karena dia memiliki fisik dan mental yang sama sekali tidak seperti patriot, apalagi yang siap mambela negara. Seumur hidupnya, Patriot dioolok-olok hingga akhirnya, dia memutuskan memberontak. Dia jadi gandrung jepang, belajar bahasa Jepang, dan punya cita-cita pergi ke Jepang untuk bertemu Yamato Nadeshiko―tipe wanita ideal versi Jepang.
Diusianya yang kedua puluh, Patriot akhirnya berada selangkah lebih dekat dengan cita-citanya itu. Dia menginjak Jepang untuk ikut program pendek musim gugur di Osaka. Dan beruntung baginya, orang tua inang tepatnya homestay punya anak gadis seusianya.
Shiraishi Mimiji, gadis itu, mungkin adalah buah penantiannya selama ini.
…Atau mungkin bukan.
********************
REVIEW
Buku ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, yaitu Pabel. Pabel memiliki nama lengkap Patriot Bela Negara, dan karenanya dia selalu jadi bulan-bulanan orang-orang di sekitarnya. Dia kehilangan kepercayaan diri akibat namanya, dan memutuskan untuk hijrah sejenak ke Negeri Sakura. Ketenangan yang dia idam-idamkan pun hancur begitu bertemu dengan anak perempuan tempatnya bernaung, Momiji. Bersama gadis itu, Pabel mengalami perubhaan hidup yang membuatnya harus keluar dari zona nyaman berkali-kali.
Sosok Pabel, sebagai seorang lelaki, memiliki mental yang sangat lemah dan naïf. Ada banyak dari penggambaran Pabel yang kurang saya sukai. Karena saya sendir sebagai pembaca perempuan, geregetan kalau harus ketemu betulan dengan lelaki bermental cemen seperti Pabel. Selain keteguhannya mengejar cita-cita, sikap keseharian Pabel luar biasa membosankan. Dan seperti penggambaran sinopsisnya, sama sekali tidak bisa keluar dari zona nyaman. Tetapi mungkin karena alasan namanya yang memiliki arti berat-lah yang memengaruhi kepriadiannya menjadi demikian.
“Setelah melihatnya secara lebih saksama, aku setuju dengan Nanami-san. Dengan setelan semacam seragam bengkel serta masker hitam yang dia kenakan, rambut merah menyala, pedang bambu di tangannya, dan gaya bicara ala preman, gadis itu seperti yankii.” (Pabel; halaman 18)
Momiji memiliki arti nama yang sangat indah, yaitu perubahan warna daun menjadi merah. Namun sama hal-nya dengan Pabel, dia juga tidak menyukai namanya karena sesuatu. Momiji memiliki kepribadian yang cuek, kasar, dan menyebalkan. Dan ya, tingkahnya seperti preman. Namun disatu sisi juga bagi saya Momiji itu menggemaskan. Apalagi dengan rambut merah menyalanya.
Membaca novel ini serasa menonton dorama dan anime Jepang. Penulisnya sangat berhasil menumbuhkan minat saya untuk menyambangi negara tersebut. Apalagi di musim ketika Momiji terjadi. Rasanya keinginan saya untuk ke Jepang dari SMA dulu kian membesar saja. Karena saya memang penyuka anime, terutama Detective Conan, dan bercita-cita ingin ke museumnya di Jepang suatu hari nanti.
Saya suka dengan masing-masing karakter keluarga Shiraishi. Momiji yang sebenarnya sangat mirip ibunya, dan adiknya, Kazuki, mirip dengan ayahnya, Kento. Hal yang sering saya lihat di dorama Jepang, dan tipe keluarga sederhana dengan masalah sederhana. Saya salut sekali dengan penguasaan penulis akan tata bahasa Jepang yang banyak terselip, serta kehidupan di sana. Campuran antara kesal, gemas, dan geli karena humornya kena banget.
Sayangnya, perubahan alur waktu yang melonjak langsung kedua puluh enam hari kemudian, menimbulkan bermacam pertanyaan yang mengganjal, seolah penulis hanya ingin menampilkan awal dan akhir cerita saja. Proses perubahan karakter yang ketara sekali adalah Momiji. Sedangkan Pabel, proses perubahannya saya kira terlalu dipaksakan, hanya karena satu kejadian.
Selebihnya, saya terlalu terpukau dengan tingkah ajaib keluarga Shiraishi yang membuat Pabel kewalahan. Penyelipan kesenian Indonesia, Pencak Silat,bagi saya menjadi nilai lebih tersendiri, yang membuktikan bahwa sebenci apa pun Pabel dengan namanya, dia masih sangat bangga dengan negaranya.
Endingnya pas, dan meski mengawang-awang, tapi mampu membuat benak saya berikir akan kemungkinan-kemungkinan lebih jauh tentang hubungan Pabel dan Momiji, Cantik sekali.
4 bintang untuk buku ini.



[REVIEW] Misteri Bilik Korek Api



Penulis             : Ruwi Meita
Penyunting      : Tim Editor Fiksi
Penerbit           : Grasindo
Jumlah Hlm     : 236 hlm
ISBN               : 978-602-452-350-3

SINOPSIS
Sejak bayi Sunday tinggal dip anti asuhan sehingga dia sama sekali buta dengan Ambon, daerah asalnya. Sampai Emola datang, lalu mengingatkan Sunday dengan asal-usulnya yang samar.
Suatu hari mereka menemukan bilik penuh tempelan korek api saat pindah dip anti asuhan yang baru. Sejak saat itu, kecelakaan demi kecelakaan menimpa teman-teman sekamar Sunday. Sunday mencurigai Emola berkaitan dengan semua kesialan yang terjadi. Bagaimana tidak? Emola memiliki kepribadian yang misterius, minim bicara, dan hanya mendendangkan lagu daerah asalnya sambil menggenggam bandul kalung yang dibungkus kain putih.
Satu biji ketumbar, dua biji gardamu,
Siapa yang pegang batu, dia jadi semut
Cabu ruku rukuku
Cabu ruku rukuku

*******************

REVIEW
Cerita dibuka dengan kepindahan Sunday ke panti asuhan baru. Pengasuh sebelumnya, Bu Nasti, yang memiliki kepribadian buruk, memberi kenang-kenangan terakhir kepada gadis itu berupa nama asli Sunday dalam akte lahir yang ditinggalkan orang tuanya dulu. Nama aslinya inilah yang memengaruhi perasaan Sunday terus menerus.
“Bu Nasti tidak pernah baik kepadaku, juga kepada semua anak panti asuhan ini. Beberapa anak memanggilnya nenek sihir, tetapi aku lebih suka memanggilnya ubur-ubur kotak yang memiliki 24 mata” (Sunday; halaman 3)
Karakter Bu Nasti ini tipikal pendengki, yang seumur hidupnya dihabiskan di panti tanpa ada yang mau mengadopsinya, sehingga seiring berjalannya waktu, dia menjadi pengasuh dengan kepribadian buruk; pemarah dan selalu berkata ketus. Meski keberadaannya cukup singkat di awal, ternyata karakter ini akan berpengaruh besar di akhir cerita.
Penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga, Sunday dan Emola secara bergantian. Sempat kesulitan di bab pembuka dari sudut pandang Emola yang kebanyakan menggunakan bahasa Ambon, tapi lambat laun, mulai mengerti dengan istilah-istilah yang digunakan Emola untuk menggambarkan sekitarmya.
Sempat jengah juga ketika membaca bagian pertama, yang merupakan tahap pengenalan anak-anak panti dimana ada Linda, Cika, Berli, dan Kiki, sebagai tokoh pendukung sentral yang sangat memengaruhi cerita. Tetapi memasuki bagian kedua di halaman 89, sumpah saya tidak bisa berhenti membaca sampai bagian ketiga, keempat, dan habis begitu saja dalam tiga kali duduk. Kemungkinan karena faktor misteri adalah genre kesukaan saya juga, dan menantangnya, dibacanya malam-malam karena greget banget!
Bertolak belakang dengan cover dan penyajian tulisan yang kurang menarik mata, isi buku ini sungguh mewah. Tiap adegan yang disajikan detail dan teliti sekali. Penuh kejutan yang tidak disangka-sangka. Perubahan sudut pandang bergantian antara Sunday dan Emola pun saya anggap sangat cerdas.
Membaca buku ini seperti membaca retelling dongeng “Gadis Korek Api” versi horror Indonesia. Semacam Hansel and Gretel atau Snow White yang diangkat ke layar lebar dan mengalami perluasan cerita yang lebih detail dan ciamik. Tentu saja, karena dalam cerita ini, buku “Gadis Korek Api” memang menjadi benda penting yang memengaruhi misteri yang terjadi.
Wajib baca!
Kisah romance yang diselipkan antara Sunday dan Nugi sungguh  pas sekali. Tidak berlebihan, apalagi mendominasi tema horornya. Membaca adegan mereka yang terjebak dalam  friend zone, bikin gemes dan keki. Apalagi tingkah Sunday yang seolah tak acuh dengan kondisi mereka tersebut. Typo pun hampir tidak saya temukan. Seperti pada halaman 93:
“Tikus Cika berjalan ke arah Tikus Cika yang sedang asyik mewarnai prakaryanya” (Emola; halaman 93)
Mungkin seharusnya: “Tikus Cika berjalan ke arah Tikus Berli yang sedang asyik mewarnai prakaryanya.”
Satu-satunya hal yang kurang terungkapkan adalah alasan orang tua Sunday memberinya nama aneh untuknya. Yaitu Busu yang memili arti busuk. Selebihnya, novel ini sukses bikin merinding bulu roma.
4,5 bintang untuk novel ini.






[REVIEW] Love Theft



Penulis             : Prisca Primasari
Penyunting      : Nur Aini, Elly Putri Pradani, Adelaine
Penerbit           : Penerbit Inari
Penyelaras       : Seplia
Jumlah Hlm     : 406 hlm, 19 cm
ISBN               : 978-602-6682-07-9

SINOPSIS
Frea Rinata memutuskan untuk cuti dari kuliah music dan mengistirahatkan biola Stradivarius-nya. Untunglah dia punya kehidupan kedua yang lebih menarik, melibatkan seorang pemuda yang dipanggil Liquor, yang dicintai Frea tanpa sadar. Pemuda itu bergabung dalam perkumpulan pencuri, tapi yang dia curi bukan benda-benda biasa.
Saat Liquor mencuri sebuah kalung mewah milik seorang gadis terkenal, masalah demi masalah pun terjadi. Ketika keadaan semakin runyam, apakah Frea masih berpikir bahwa kehidupan keduanya bersama liquor itu semenarik yang dia pikirkan?
**************
REVIEW
Buku ini menceritakan tentang sekelompok pencuri professional yang menargetkan orang-orang konglomerat sebagai sasaran mereka. Adalah Liquor dan Night (bukan nama sebenarnya), dua dari anggotapencuri yang terlibat dalam pencurian kalung seorang gadis konglomerat yang manja, yang nyatanya tidak berakhir sesedrhana yang mereka kira. Dan Frea, sebagai keponakan kepala anggota pencuri itu harus terlibat dalam kepelikan mereka.
Cerita ini menggunakan Frea sebagai sudut pandangnya. Sosok Frea sendiri menurut saya cukup naïf tapi pemberani, karena terlibat dengan sekelompok pencuri profesional. Kemudian Liquor yang digambarkan sebagai lelaki pendiam namun teliti, selalu menggunakan ngengat untuk mengelabui mangsanya ketika mencuri, dan terlalu tenggelam dalam masa lalu sehingga enggan menatap ke depan. Dengan kepribadian seperti yang digambarkan, Liquor memang tampak cool, karena memang dia tampan dan mudah memikat lawan jenis, namun ternyata bagi saya pembaca, dia cukup menyebalkan. Apalagi jika berkaitan dengan Frea.
“Dia pemuda yang sangat menarik, yang setiap bagian wajahnya bak pahatan proporsionla. Mata, hidung, serta bibir, semuanya pas. Tidka terlalu tampan hingga membuat bosan, tapi juga tidak bisa dibilang biasa saja. Rambutnya kemerahan, tampak alami dan bukan produk cat mahal. Sering kali, aku berpikir dia blesteran. Pakaian favoritnya jaket dengan corak garis-garis hitam-putih, juga sarung tangan hitam. Panggil saja dia Liquor. Bukan nama sebenarnya.” (Frea; halaman 14-15)
Udah ketebak banget kan, si Frea suka ke Liquor?
“Tubuh Night ramping. Rambut pria muda itu hitam pekat menyentuh bahu, dengan model berlapis dan poni panjang yang membingkai wajah eloknya. Kulitnya begitu putih hingga semua orang bisa menebak dia bukanlah orang Indonesia. Mata hitamnya sangat dalam. Kemeja dan jinsnya bernuansa gelap, heboh dengan aksesori-aksesori perak dan intan. Sarung tangannya berbahan kulit mengkilat.” (Frea; halaman 19)
Sosok Night adalah tipe saya. Dia adalah pianis yang karena sesuatu malah menjadi pencuri. Kupu-kupu adalah binatang andalannya untuk mengelabui. Dan yang sangat disayangkan, dia sudah beristeri dan amat setia padanya. Pribadi Night sangat blak-blakan, terutama jika menyangkut hubungan Frea dan Liquor. Tetapi dia sendiri justeru sangat tertutup dengan masalah pribadinya.
Ini adalah karya Prisca pertama yang saya baca (padahal saya duluan punya Purple Eyesnya, tapi belum sempat baca karena kondisi), dan saya jatuh cinta pada covernya yang cantik dan ada biolanya (Karena saya memang penyuka biola). Novel ini berhasil menggelitik saya untuk baca tanpa menyampulnya terlebih dahulu, seperti kebiasaan saya sebelumnya, dan akhirnya malah ketumpahan air segelas, lalu butuh waktu sebulan sampai saya bisa melanjutkan baca lagi. (Curhat colongan).
Saya suka dengan tata bahasanya yang terkesan seperti terjemahan, padahal bukan, tapi ringan dan manis banget. To the point dan gak berbelit. Meski alurnya saja yan rada berbelit. Kebanyakn typo ada dipenggunaan tanda “-” yang tidak seharusnya. Karena tanda itu seharusnya untuk menyambungkan jeda kalimat di akhir baris, saya justeru banyak menemukan di tengah baris. Sayangnya saya lupa menandai ada di halaman berapa saja typo seperti ini.
Eksekusi akhirnya juga kurang memuaskan menurut saya. Dengan kepribadian Liquor dan Night, sungguh mengecewakan mereka tidak membalas apa-apa pada Coco. Namun sepanjang cerita, dibuat gemas dengan kisah cinta mereka, baik itu Liquor dan Frea, maupun Night dan isterinya.
Satu sosok lagi yang sukses memanjakan mata saya adalah Tarantula. Sikap konyolnya memberikan rasa segar pada buku ini. Dan tiap teknik mencuri yang tersaji, ciamik sekali. Penulis menjabarkannya dengan detail, simple, dan sangat mudah di mengerti.
4 bintang untuk buku ini.




Saturday 11 March 2017

[REVIEW] Badut Oyen


Penulis             : Marisa Jaya, Dwi Ratih Ramadhany, Rizky Noviyanti
Ilustrator         : Staven Andersen
Editor              : Anastasia Aemilia
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Hlm     : 224 hlm, 20 cm
ISBN               : 978-602-03-0349-9

SINOPSIS
Oyen, si badut kampung, ditemukan mati gantung diri di kamarnya. Tak seorang pun percaya pria sebaik Oyen bisa seputus asa itu hingga mengakhiri nyawanya sendiri. Pihak kepolisian berusaha mengusut kasusnya dan menemukan banyak keganjilan dalam kematian pria itu. Tetapi, ketika tersangka yang dicurigai polisi ditemukan mati mengenaskan, kasus kematian Oyen kembali tak terpecahkan. Kampung mereka diteror hantu badut yang menghampiri anak-anak, bahkan mulai meminta korban.
Apa yang sebenarnya terjadi?
*********************

REVIEW
Buku ini dibuka dengan kejadian mengerikan tentang kematian badut Oyen yang ditemukan mati gantung diri. Bab berikutnya alur cerita mundur untuk menceritakan hari-hari Oyen sebagai badut. Oyen digambarkan sebagai sosok badut yang murah hati dan sangat menyayangi anak-anak. Dia adalah tipe yang pekerja keras, namun rela tidak dibayar demi membuat anak-anak tertawa. Bersama Suparni sahabatnya, Oyen menjalani bisnis sebagai badut dengan kondisi keuangan mereka yang mengenaskan. Sifat murah hati Oyen yang menurut Suparni keterlaluan inilah yang sering membuat Suparni memarahinya, meski pun pada akhirnya mereka selalu kembali akur karena bagaimana pun, Suparni tidak bisa berlama-lama membenci lelaki yang diam-diam dicintainya tersebut.
“Kenapa kamu harus bersusah-susah begini?” tanya Suparni amat khawatir.
“Jangan pertanyakan soal lelah karena bila dipikir, duduk pun kadang terasa melelahkan,” jawab Oyen diiringi senyum lebar.
“Siapa yang membayarmu untuk tampil di sini?” tanya Suparni lagi.
“Tuhan.” Oyen menjawab dengan yakin. (Hal. 36)
Melalui prolog yang mencekam tentang badut Oyen yang ditemukan mati gantung diri, kemudian beralih pada alur mundur dimana diceritakan kehidupan Oyen sebagai badut super ramah dan murah senyum meski pun kondisi keuangannya begitu sulit, rasa-rasanya sebagai pembaca pun saya dibuat tak habis pikir mengapa seorang Oyen yang begitu optimis menjalani kehidupan bisa mengakhiri hidupnya seperti itu. Ditengah praduga-praduga yang bermunculan di benak saya, alur cerita kemudian membawa saya pada kengerian yang dapet banget sampai menggigil bulu kuduk.


Buku keluaran bakat-bakat para penulis GWP (Gramedia Writing Project) ini menghasilkan tulisan kolaborasi tiga orang penulis yang apik sekali. Feel misteri dan kengerian yang mencekam benar-benar terasa. Sosok hantu badut Oyen seakan-akan berada di belakang saya. Apalagi ketika membacanya pun di malam hari. Dan sungguh, karena rasa penasaran akan misteri kematian Oyen dan otak saya yang terus main tebak-tebakan inilah yang membuat saya tak henti membaca sampai habis. Hanya dengan sekali tiduran (saya selalu membaca dengan posisi tiduran ^^).
Ada dua tokoh penting yang berhasil mendapat perhatian saya. Yang pertama adalah Iryanto, ketua RT kampung dimana Oyen tinggal. Iryanto digambarkan sebagai ketua RT yang berwibawa. Meski pun ada banyak teror yang meresahkan warga, Iryanto yang meski pun juga merasa takut, namun selalu berhasil menenangkan warganya. Meski pun Iryanto termasuk orang yang mudah dipengaruhi oleh orang lain untuk melakukan tindakan di luar keinginannya, bagi saya sosok Iryanto berhasil menjadi penenang bagi warganya, apalagi dialah orang yang bersikeras meminta polisi untuk mengusut kasus kematian Oyen.
Sosok kedua adalah Suparni, sahabat perempuan Oyen yang tinggal serumah dengan lelaki itu sekaligus bekerja padanya. Suparni bisa saya katakan sebagai sosok yang hebat karena selalu mendampingi Oyen disaat-saat tersulit lelaki itu. Dia juga rela bekerja tidak digaji, karena bagaimana pun, Suparni sangat mencintai Oyen meski pun lelaki itu tidak pernah menyadarinya.
Kematian Oyen tentunya menjadikan Suparni sebagai orang yang berkemungkinan besar mengambil peran andil di dalamnya. Meski pun dia tidak ditetapkan sebagai tersangka, namun kecurigaan Polisi dan beberapa warga terarah padanya, termasuk juga saya sebagai pembaca. Di sinilah hebatnya penulis yang begitu apik menyusun teka-teki sedemikian rupa, hingga sulit sekali menerka, bahkan untuk menuduh atau menjatuhkan tersangka pun rasanya banyak kata ‘gak mungkin’ berkelebatan di benak saya. Belum lagi ketika para korban setelah kematian Oyen mulai berjatuhan. Otak saya yang menolak bahwa hantu tidak mungkin bisa membunuh manusia pun mulai menyusun kembali terka-terkaan yang lebih masuk akal, dan justeru saya dibuat geleng-geleng kepala pada akhirnya.
Setting tempat dalam cerita tidak disebutkan dengan jelas, namun saya menduga, dengan seringnya banjir yang terjadi, juga stasiun televisi dimana Oyen pernah bekerja, setting cerita ini berada di Ibu Kota. Sedangkan alur yang digunakan adalah alur maju, dan hanya sedikit menggunakan alur mundur di beberapa bab yang menjelaskan tentang kehidupan Oyen sebagai badut.
Buku ini berhasil tereksekusi dengan cukup brilian, dengan ide-ide yang lumayan mencengangkan, namun sayangnya misteri kematian Oyen tidak dijelaskan apakah warga dan polisi berhasil memecahkannya, karena saya menduga hanya pembaca saja yang tahu misteri kematian Oyen. Untuk beberapa saat, saya merasa misteri yang disajikan cukup mudah namun juga sulit di saat yang bersamaan. Penggambaran tiap sisi kampung dimana Oyen tinggal membawa pikiran saya menelusuri kampung sendiri dan membayangkan ada sosok badut Oyen di tiap sudut kegelapan. Dan ini benar-benar luar biasa karena mampu memengaruhi saya.
4 bintang untuk buku horor ini.



Thursday 12 January 2017

[RESENSI] Critical Eleven

RESENSI Critical Eleven

Penulis                         : Ika Natassa
Editor                          : Rosi L. Simamora
Desain Cover              : Ika Natassa
Penerbit                       : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Hlm                 : 344 hlm, 20 cm
ISBN                           : 978-602-03-1892-9
Cetakan kesembilan    : Januari 2016




SINOPSIS

Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat―tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing―karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It’s when the aircraft is most vulnerable to any danger.
In a way, it’s kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah―delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.
Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sidney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada suatu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.
***********

RESENSI
Pertemuan Ale dan Anya pada sebelas menit paling kritis di dunia penerbangan menjadi awal pendekatan mereka sebelum akhirnya kedekatan itu menjadi intens hingga pada akhirnya mereka menikah. Keduanya melalui perjalanan hidup sebagai pasangan yang sempurna dan membuat iri banyak orang yang memandang, hingga kesempurnaan yang berjalan selama empat tahun kemudian itu harus tercoreng pada tahun kelima pernikahan mereka.
Sebuah tragedi besar yang menimpa hidup Ale dan Anya kemudian membuat mereka bertanya-tanya akan arti pernikahan yang mereka jalani selama ini, hingga kilasan-kilasan masa lalu yang begitu indah mereka lalui pun satu persatu menghampiri, memberikan gejolak batin yang tak bertepi.
Bagiku, buku ini sedikit melenceng dari sinopsis yang tertera yang kemudian mevisualkan benakku akan lokasi cerita yang sepenuhnya berada di dalam pesawat, di sebelas menit paling kritis itu, seperti buku Angel And Demons karya Dan Brown yang begitu tebal namun setting cerita hanya selama sejam saja. Namun ternyata setting cerita buku Critical Eleven ini meruntut jauh sekali pada kehidupan mereka selanjutnya, yang pada akhirnya akan membawa mereka kembali ke ingatan saat pertemuan pertama di sebelas menit paling kritis itu.

Kaver:
BIRU! Adalah seruan pertama saya ketika melihat buku ini mejeng di toko buku. Bagi saya biru itu ‘sesuatu’ yang selalu mengingatkan saya pada lautan tak berujung di bawah lazuardi yang mengantarkan saya pada kenyamanan tak kasat mata membayangkan saya tengah menggelar tikar di pantai menikmati pemandangan indah serba biru yang menakjubkan. Dan lagi, penampakan kaver ini memang tentang pesawat yang tengah mengudara di langit yang biru, jadi klop! Tanpa ragu-ragu kubawa pulang satu. Eh, tapi bayar dulu, deng, di kasir.
Ini adalah karya Ika Natassa pertama yang saya baca, dan jujur, langsung bikin saya jatuh cinta. Meski pun kepala dibuat oleng dengan bab pembuka yang penuh dengan kalimat berbahasa Inggris, yang karena memang kemampuan bahasa Inggris saya pas-pasan, akhirnya harus baca tertatih-tatih, kata perkata sambil menerjemahkan sebisa saya. Begitu membaca kalimat Indonesia, langsung lega tak terkira, dan otak begitu lezat menikmati gaya bahasa tulisan yang begitu sehari-hari, dan amat mudah dimengerti. Meski pun lagi-lagi harus banyak diselingi kalimat bahasa Inggris yang bikin mengerutkan dahi.

Setting:
Jakarta sedemikian kuatnya, sehingga siapa pun yang pernah bersentuhan dengannya tidak akan pernah jadi orang yang sama lagi. Jakarta membuat semua yang ada di dalamnya harus meredefinisikan semua tentang diri mereka sendiri. Meredefinisikan makna rumah, makna keluarga, hubungan, makna waktu. Redefining what matters, and what doesn’t.” (Hal. 143)
Saya suka sekali bagaimana penulis mendefinisikan Jakarta, tepat seperti yang saya pikirkan, namun sulit saya utarakan. Setting cerita yang memang sebagian besar di Jakarta ini membawa saya menjelajahi beberapa tempat yang saya kenal dan tidak saya kenal di Jakarta. Membayangkan rasa ketoprak Ciragil yang saya sendiri tidak tahu hanyalah fiksi atau nyata, namun bikin ngiler karena selalu disebut-sebut dalam cerita. Karena cerita ini menggunakan alur maju-mundur yang menurut saya memang penting, maka setting cerita begitu cepat berubah, dari Jakarta, ke Singapur, atau New York, sebentar di Teluk Meksiko, dan kebanyakan di rumah Ale dan Anya juga di Mall. Paling senang dengan acara kuliner mereka yang bikin laper baper. Dan dari semua tempat itu, ada satu tempat yang bikin hati saya nyes, bahkan melebihi beach house di East Hampton―tempat Ale dan Anya bulan madu, yaitu bandara dan bagaimana cara penulis mendeskripsikannya begitu cantik sedemikian rupa dalam sosok Anya.
“Airport is the least aimless place in the world. Everything about the airport is destination. Semua yang ada di bandara harus punya tujuan. Bahkan tujuan itu jelas di secarik kertas. Boarding pass. Setiap memegang boarding pass, aku merasa hidupku akhirnya punya tujuan,....” (Hal. 6)

Sudut Pandang:
Membaca buku ini sedikit banyak mengingatkan saya pada cerita Audy dan Ibi pada buku Sunset Holiday karya pasangan Nina Ardianti dan Mahir Pradana. Menggunakan sudut pandang kedua tokoh sentral secara bergantian, yang keduanya sudah mengunjungi begitu banyak negara, kurang lebih sama dengan tokoh Ale dan Anya. Bedanya, Audy dan Ibi mengunjungi banyak negara karena memang sengaja ingin berkeliling dunia, sementara Ale dan Anya banyak mengunjungi negara lain karena pekerjaan mereka.
Dengan dua sudut pandang yang bergantian dari sosok Anya kemudian Ale ini menurut saya sangat fair sehingga pembaca tidak bisa asal menghakimi siapa yang bersalah ketika masalah mendera hubungan keduanya. Namun, karena dua sudut pandang ini pula saya melihat adanya keberpihakan pada sang tokoh yang bercerita, membenarkan sikap dan tindakan mereka sendiri, yang memang bagi saya wajar karena manusia tidak terlepas dari sifat egois. Dan kerennya, dengan dalih dan alasan yang dikemukakan tokoh pada sudut pandang mereka itulah yang bagi saya menghidupkan cerita dalam buku ini sendiri. bikin greget, hidung mampet karena nangis berkali-kali, dan senyam-senyum di beberapa adegan.  

Tokoh:
Tanya Laetitia Baskoro atau yang akrab disebut Anya ini memiliki ciri fisik yang sumvah, diidam-idamkan banget sama seluruh perempuan di penjuru negeri. Belum lagi sifatnya yang easy going, memandang segala sesuatunya dengan blak-blakan, rajin salat, dan pengertian banget sama suami yang jarang pulang, udah delapan puluh lima persen masuk kriteria lelaki ketika mencari isteri. Tapi tentu saja gak ada manusia yang sempurna di dunia ini, kan? Anya ini sentimental banget. Sulit sekali melupakan kesalahan orang meski pun sekali, walau pun kebaikan orang itu udah berkali-kali. Membaca karakter Anya ini mengingatkan saya pada sosok Barbie yang gak bisa dan gak boleh disakiti sama sekali. Karena sekalinya disakiti.... Jedeerrr! Tanya sendiri tuh ke Ale yang udah jadi korbannya. Dan yang saya sukai dari sosok Anya ini, dia juga menyadari kekurangannya tersebut, namun entah kenapa dia sulit sekali menutupi kekurangannya itu. Perhatiannya terhadap keluarga pun bikin saya salut, karena Anya bukan tipe yang terburu-buru mengambil keputusan, namun memikirkan banyak hal yang harus dia korbankan bila harus bersikap egois.
Yang saya sadari bahwa saya enggak bisa jadi perempuan yang kabur begitu saja meninggalkan suami. Saya enggak bisa mencampakkan begitu saja ibunya dan ayahnya yang sudah sedemikian baik kepada saya, mencampakkan adik-adiknya, dan yang paling penting, saya enggak bisa membiarkan papa dan mama saya yang tersudut harus menjelaskan kepada keluarga suamiku kenapa anak perempuan satu-satunya kabur begitu saja menelantarkan suami.” (Hal. 154)
Ada lagi Aldebaran Risjad. Bukan cuma suka banget sama namanya, tapi saya juga suka banget sama karakternya. Salah satu sahabat baik saya pernah bilang bahwa wanita sekeras apa pun pasti akan luluh dengan perhatian lelaki yang tidak pernah berhenti memerjuangkan dirinya. Yap. Itulah sosok Ale menurut saya. Bener-bener sosok yang cuma ada dalam cerita fiksi, yang bukan hanya tahan menahan siksaan hati, tapi juga tahan menahan siksaan fisik yang gak pernah dapet jatah dari isteri. Ale memiliki ciri fisik dengan nilai di atas rata-rata yang kurang lebih sama dengan Anya, sebagai lelaki yang diidam-idamkan untuk menjadi suami. Benar-benar pasangan yang sempurna. Pengertian dan sikap protektifnya juga tanggung jawabnya Ale luar biasa. Begitu menghargai isteri, seolah-olah saya berubah menjadi Anya dan merasakan kenyamanan yang teramat pada perlindungan Ale dan betapa berharganya saya di mata lelaki itu.
Pecundang gue namanya kalau seenaknya menyerah dan melepas kunci kebahagiaan Anya ke orang lain. Gue yang bertanggung jawab sampai gue mati. Sewaktu gue mengucapkan ijab kabul, sejak itu pula gue sendiri yang harus berusaha sebisa yang gue mampu bahkan lebih untuk membuat dia bahagia, bagaimana pun caranya. Karena itu gue tetap di sini. Sudah menadi kewajiban, tugas, tanggung jawab, dan misi gue untuk mengembalikan senyum itu ke bibir isteri gue. Hak gue juga sebagai suami dia, bukan orang lain.” (Hal. 317)
Kurang sweet apa coba Ale?
 Ada juga julukan ‘Tukang Minyak’ yang dia sandang, yang memang bukan tukang minyak biasa, tapi tukang minyak yang terjebak di tengah lautan lepas berbulan-bulan lamanya, dengan gaji yang saya tahu sungguh luar biasa jika bekerja di bidang itu. Hal itu juga terbukti dengan sifat foya-foya Ale terhadap hobinya. Sifat kekanak-kanakan yang menjadi salah satu kekurangan tokoh Ale.  Tapi julukan ‘Anjis’-nya (yang penasaran artinya baca sendiri ya bukunya...) bikin saya gak berhenti senyum.
Ada banyak tokoh pendukung yang penting dan menarik perhatian saya. Yang pertama adalah kedua tokoh Tara dan Agnes, sahabat Anya, yang gokil gila, namun selalu ada ketika Anya bersedih dan memerlukan tempat untuk bersandar.
Yang kedua, adalah sosok Harris dan Raisa, kedua adik Ale yang bikin cerita ini lebih berwarna. Dua tokoh ini selalu bikin gereget karena berhasil menjadi banget adik banget yang suka memanfaatkan kakaknya.
Sosok Tini sebagai ART dan Pak Sudi sebagai supir Ale dan Anya pun, sukses bikin cerita ini makin meriah. Keduanya sigap banget menjalankan perintah majikan, bikin saya berandai-andai punya orang-orang seperti mereka yang siap siaga melayani keperluan saya.
Yang terakhir adalah Bapak Jendral, ayah Ale, dan ibunya. Karakter keduanya memang khas orang tua banget yang sering saya temui di sekitar saya. Dan karakter Ale pula benar-benar mewarisi ayahnya sebagai pembuat kopi yang enak, juga kesetiaan terhadap pasangan yang tak terkikis cobaan.

Konflik:
Permasalahan yang terjadi dalam cerita kurang begitu memuaskan dahaga membaca saya. Meski pun saya berharap tiba-tiba ada masalah lain yang membuat konflik kian memanaskan hubungan Ale dan Anya, nyatanya konflik itu hanya ada seputar pergolakan batin mereka. Namun karena gaya penulis dalam membuat alur maju-mundur yang sempurna, sehingga sosok Ale dan Anya terasa begitu nyata di benak saya, membuat cerita ini begitu brilian di mata saya.
Kekurangan yang saya tangkap mungkin dari ketiadaan batas atau jeda atau garis miring dalam membedakan alur maju dan mundur dalam cerita. Sekejap membaca alur biasa, sekejap kemudian sudah di bawa ke masa lalu tanpa tedeng aling-aling, sehingga sedikit agak lupa berorientasi sedang dimana saya dibawa di dalam cerita. Namun saya sendiri sulit mengartikan ini kekurangan atau kelebihan penulis, karena meski pun tanpa batas atau jeda atau garis miring ketika dibawa mundur dalam cerita, masih dalam paragraf yang sama saya langsung bisa menyimpulkan bahwa saya di bawa maju atau mundur lagi, dan hanya beberapa detik kehilangan orientasi. Teknik menulis seperti itu amazing banget buat saya.
Dan, bagi saya yang kurang bisa menguasai bahasa Inggris, cerita dalam buku yang banyak sekali menggunakan kalimat bahasa Inggris menjadi kekurangan pribadi bagi saya. Membuat saya yang sedang enak-enaknya menikmati aliran cerita, langsung tersendat begitu sampai pada kalimat bahasa Inggris yang perlu sampai tiga kali pengulangan saya baca. Saya juga tidak menemukan typo sama sekali. Entah karena begitu asyiknya saya terbawa alur cerita sehingga melewatkan typo yang ada, atau memang typo itu tidak ada sama sekali, saya merasa takjub mata saya masih betah membaca buku tebal ini hanya dalam sekali duduk.


Unforgetting Moment:
Bagian tak terlupakan yang paling berkesan bagi saya dalam cerita justeru ketika berada di akhir cerita. Ketika tiba-tiba Anya akan mengatakan hal menakjubkan kepada Ale yang membuat dada saya berdebar-debar tak sabar, dan..................................... (nangis guling-guling)
Ada lagi pesan yang saya tangkap jelas dalam cerita ini, bahwa tidak pernah ada hubungan yang sempurna di dunia ini, yang ada hanyalah orang-orang yang berusaha memertahankannya. (mengutip dari kata-kata Winna Effendi).

Movie:
Udah santer banget bahwa buku ini akan difilmkan, bahkan sudah ada artis yang memerankan tokoh-tokoh dalam cerita. Saya berharap alur cerita bisa lebih berkembang dengan tambahan konflik yang kian pelik, namun tidak menghilangkan esensi cerita. Para artis yang terpilihpun harus bisa memerankan sedemikian rupa para tokoh dalam cerita, terutama tokoh sentral, dengan pergolakan batin yang luar biasa menantang mimik wajah agar mengena ke penonton dan tereksekusi dengan baik. Saya dibuat nangis di lebih dari lima adegan di dalam buku, dan saya ingin dibuat menangis lebih banyak lagi dalam filmnya nanti.

Rekomendasi:
Meski pun bertema romansa berumah tangga, buku ini cocok dinikmati untuk pembaca di atas 17 tahun. Tidak usah berharap ada adegan surrr dan saya menghargai sekali tidak ada adegan segamblang itu di dalam cerita, hanya seperkian persen saja. Makanya masih bisa dinikmati oleh pembaca yang masih belum menikah. Sukur-sukur yang udah nikah ikutan baca juga, karena banyak sekali pembelajaran berumah tangga di dalam cerita.

My Favorite Quotes:
Buanyak bingit. Sampai saya takjub karena di setiap kalimat penjelas selalu terselip kata-kata yang ngena banget sampai ke hati. Belum lagi penulis memadukan banyak sekali perumpaan dari film, buku, dan tokoh penting yang ada di dunia nyata. Bikin cerita makin ciamik dan renyah. Beberapa quotes yang saya sukai:
1.      Berani menjalin hubungan berarti berani menyerahkan sebagian kendali atas perasaan kita kepada orang lain. Menerima fakta bahwa sebagian dari rasa kita ditentukan oleh orang yang menjadi pasangan kita. (Anya) (Hal. 8)
2.      Di tempat yang paling seru sekali pun, kita pasti punya batas kebetahan di situ. (Ale) (Hal. 12)
3.      Hidup ini jangan dibiasakan menikmati yang  instan-instan, Le, jangan mau gampangnya saja. Hal-hal terbaik dalam hidup justru seringnya harus melalui usaha yang lama dan menguji kesabaran dulu. (Bapak Jendral kepada Ale) (Hal. 34)
Dan masih banyak lagi. 5 bintang untuk buku ini.








[REVIEW] Momiji

Penulis             : Orizuka Penyunting      : Selsa Chintya Penerbit           : Penerbit Inari Penyelaras       : Brigida Ru...