RESENSI Critical Eleven
Penulis :
Ika Natassa
Editor :
Rosi L. Simamora
Desain
Cover : Ika Natassa
Penerbit :
PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah
Hlm : 344 hlm, 20 cm
ISBN :
978-602-03-1892-9
Cetakan
kesembilan : Januari 2016
Dalam
dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling
kritis di dalam pesawat―tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum
landing―karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan
pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It’s when the
aircraft is most vulnerable to any danger.
In
a way, it’s kinda the same with meeting people.
Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk,
lalu ada delapan menit sebelum berpisah―delapan menit ketika senyum, tindak
tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi
awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.
Ale
dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sidney. Tiga menit
pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan
saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah
Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini,
lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada suatu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan
pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling
penting dalam pertemuan pertama mereka.
***********
Pertemuan
Ale dan Anya pada sebelas menit paling kritis di dunia penerbangan menjadi awal
pendekatan mereka sebelum akhirnya kedekatan itu menjadi intens hingga
pada akhirnya mereka menikah. Keduanya melalui perjalanan hidup sebagai
pasangan yang sempurna dan membuat iri banyak orang yang memandang, hingga
kesempurnaan yang berjalan selama empat tahun kemudian itu harus tercoreng pada
tahun kelima pernikahan mereka.
Sebuah
tragedi besar yang menimpa hidup Ale dan Anya kemudian membuat mereka
bertanya-tanya akan arti pernikahan yang mereka jalani selama ini, hingga
kilasan-kilasan masa lalu yang begitu indah mereka lalui pun satu persatu
menghampiri, memberikan gejolak batin yang tak bertepi.
Bagiku,
buku ini sedikit melenceng dari sinopsis
yang tertera yang kemudian mevisualkan benakku akan lokasi cerita yang
sepenuhnya berada di dalam pesawat, di sebelas menit paling kritis itu, seperti
buku Angel And Demons
karya Dan Brown
yang begitu tebal namun setting cerita hanya selama sejam saja. Namun
ternyata setting cerita
buku Critical Eleven ini meruntut jauh sekali pada
kehidupan mereka selanjutnya, yang pada akhirnya akan membawa mereka kembali ke
ingatan saat pertemuan pertama di sebelas menit paling kritis itu.
Kaver:
BIRU!
Adalah seruan pertama saya
ketika melihat buku ini mejeng di toko buku. Bagi saya biru
itu ‘sesuatu’ yang selalu mengingatkan saya pada lautan tak berujung di bawah
lazuardi yang mengantarkan saya pada kenyamanan tak kasat mata membayangkan saya
tengah menggelar tikar di pantai menikmati pemandangan indah serba biru yang
menakjubkan. Dan lagi, penampakan
kaver ini memang tentang pesawat yang tengah mengudara di langit yang biru,
jadi klop! Tanpa ragu-ragu kubawa pulang satu. Eh, tapi bayar dulu, deng, di
kasir.
Ini
adalah karya Ika Natassa pertama yang saya baca,
dan jujur, langsung bikin saya jatuh cinta. Meski pun kepala dibuat oleng
dengan bab pembuka yang penuh dengan kalimat berbahasa Inggris, yang karena memang kemampuan bahasa Inggris saya pas-pasan, akhirnya harus baca
tertatih-tatih,
kata perkata sambil menerjemahkan
sebisa saya. Begitu membaca kalimat Indonesia, langsung lega tak terkira, dan otak
begitu lezat menikmati gaya bahasa tulisan yang begitu sehari-hari, dan amat
mudah dimengerti. Meski pun lagi-lagi harus banyak diselingi kalimat bahasa
Inggris yang bikin mengerutkan dahi.
Setting:
“Jakarta sedemikian kuatnya, sehingga siapa pun yang
pernah bersentuhan dengannya tidak akan pernah jadi orang yang sama lagi. Jakarta
membuat semua yang ada di dalamnya harus meredefinisikan semua tentang diri
mereka sendiri. Meredefinisikan makna rumah, makna keluarga, hubungan, makna
waktu. Redefining what matters, and what doesn’t.” (Hal. 143)
Saya suka sekali bagaimana penulis mendefinisikan
Jakarta, tepat seperti yang saya pikirkan, namun sulit saya utarakan. Setting
cerita yang memang sebagian besar di Jakarta ini membawa saya menjelajahi
beberapa tempat yang saya kenal dan tidak saya kenal di Jakarta. Membayangkan rasa
ketoprak Ciragil yang saya sendiri tidak tahu hanyalah fiksi atau nyata, namun
bikin ngiler karena selalu disebut-sebut dalam cerita. Karena cerita ini
menggunakan alur maju-mundur yang menurut saya memang penting, maka setting
cerita begitu cepat berubah, dari Jakarta, ke Singapur, atau New York, sebentar
di Teluk Meksiko, dan kebanyakan di rumah Ale dan Anya juga di Mall. Paling senang
dengan acara kuliner mereka yang bikin laper baper. Dan dari semua tempat itu,
ada satu tempat yang bikin hati saya nyes, bahkan melebihi beach
house di East Hampton―tempat Ale dan Anya bulan madu, yaitu bandara dan
bagaimana cara penulis mendeskripsikannya begitu cantik sedemikian rupa dalam
sosok Anya.
“Airport is the least aimless place in the world. Everything
about the airport is destination. Semua yang ada di bandara harus punya
tujuan. Bahkan tujuan itu jelas di secarik kertas. Boarding pass. Setiap memegang
boarding pass, aku merasa hidupku akhirnya punya tujuan,....” (Hal. 6)
Sudut Pandang:
Membaca buku ini sedikit banyak mengingatkan saya pada
cerita Audy dan Ibi pada buku Sunset Holiday karya pasangan Nina
Ardianti dan Mahir Pradana. Menggunakan sudut pandang kedua tokoh sentral
secara bergantian, yang keduanya sudah mengunjungi begitu banyak negara, kurang
lebih sama dengan tokoh Ale dan Anya. Bedanya, Audy dan Ibi mengunjungi banyak
negara karena memang sengaja ingin berkeliling dunia, sementara Ale dan Anya banyak
mengunjungi negara lain karena pekerjaan mereka.
Dengan dua sudut pandang yang bergantian dari sosok Anya
kemudian Ale ini menurut saya sangat fair sehingga pembaca tidak bisa
asal menghakimi siapa yang bersalah ketika masalah mendera hubungan keduanya. Namun,
karena dua sudut pandang ini pula saya melihat adanya keberpihakan pada sang
tokoh yang bercerita, membenarkan sikap dan tindakan mereka sendiri, yang
memang bagi saya wajar karena manusia tidak terlepas dari sifat egois. Dan
kerennya, dengan dalih dan alasan yang dikemukakan tokoh pada sudut pandang
mereka itulah yang bagi saya menghidupkan cerita dalam buku ini sendiri. bikin
greget, hidung mampet karena nangis berkali-kali, dan senyam-senyum di beberapa
adegan.
Tokoh:
Tanya Laetitia Baskoro atau yang akrab disebut Anya ini
memiliki ciri fisik yang sumvah, diidam-idamkan banget sama seluruh perempuan
di penjuru negeri. Belum lagi sifatnya yang easy going, memandang segala
sesuatunya dengan blak-blakan, rajin salat, dan pengertian banget sama suami
yang jarang pulang, udah delapan puluh lima persen masuk kriteria lelaki ketika
mencari isteri. Tapi tentu saja gak ada manusia yang sempurna di dunia ini,
kan? Anya ini sentimental banget. Sulit sekali melupakan kesalahan orang meski
pun sekali, walau pun kebaikan orang itu udah berkali-kali. Membaca karakter
Anya ini mengingatkan saya pada sosok Barbie yang gak bisa dan gak boleh
disakiti sama sekali. Karena sekalinya disakiti.... Jedeerrr! Tanya sendiri tuh
ke Ale yang udah jadi korbannya. Dan yang saya sukai dari sosok Anya ini, dia
juga menyadari kekurangannya tersebut, namun entah kenapa dia sulit sekali menutupi
kekurangannya itu. Perhatiannya terhadap keluarga pun bikin saya salut, karena
Anya bukan tipe yang terburu-buru mengambil keputusan, namun memikirkan banyak
hal yang harus dia korbankan bila harus bersikap egois.
“Yang saya sadari bahwa saya enggak bisa jadi
perempuan yang kabur begitu saja meninggalkan suami. Saya enggak bisa
mencampakkan begitu saja ibunya dan ayahnya yang sudah sedemikian baik kepada saya,
mencampakkan adik-adiknya, dan yang paling penting, saya enggak bisa membiarkan
papa dan mama saya yang tersudut harus menjelaskan kepada keluarga suamiku
kenapa anak perempuan satu-satunya kabur begitu saja menelantarkan suami.”
(Hal. 154)
Ada lagi Aldebaran Risjad. Bukan cuma suka banget sama
namanya, tapi saya juga suka banget sama karakternya. Salah satu sahabat baik
saya pernah bilang bahwa wanita sekeras apa pun pasti akan luluh dengan
perhatian lelaki yang tidak pernah berhenti memerjuangkan dirinya. Yap.
Itulah sosok Ale menurut saya. Bener-bener sosok yang cuma ada dalam cerita
fiksi, yang bukan hanya tahan menahan siksaan hati, tapi juga tahan menahan
siksaan fisik yang gak pernah dapet jatah dari isteri. Ale memiliki ciri fisik
dengan nilai di atas rata-rata yang kurang lebih sama dengan Anya, sebagai
lelaki yang diidam-idamkan untuk menjadi suami. Benar-benar pasangan yang
sempurna. Pengertian dan sikap protektifnya juga tanggung jawabnya Ale luar
biasa. Begitu menghargai isteri, seolah-olah saya berubah menjadi Anya dan
merasakan kenyamanan yang teramat pada perlindungan Ale dan betapa berharganya
saya di mata lelaki itu.
“Pecundang gue namanya kalau seenaknya menyerah dan
melepas kunci kebahagiaan Anya ke orang lain. Gue yang bertanggung jawab sampai
gue mati. Sewaktu gue mengucapkan ijab kabul, sejak itu pula gue sendiri yang
harus berusaha sebisa yang gue mampu bahkan lebih untuk membuat dia bahagia,
bagaimana pun caranya. Karena itu gue tetap di sini. Sudah menadi kewajiban,
tugas, tanggung jawab, dan misi gue untuk mengembalikan senyum itu ke bibir
isteri gue. Hak gue juga sebagai suami dia, bukan orang lain.” (Hal. 317)
Kurang sweet apa coba Ale?
Ada juga julukan ‘Tukang
Minyak’ yang dia sandang, yang memang bukan tukang minyak biasa, tapi tukang
minyak yang terjebak di tengah lautan lepas berbulan-bulan lamanya, dengan gaji
yang saya tahu sungguh luar biasa jika bekerja di bidang itu. Hal itu juga
terbukti dengan sifat foya-foya Ale terhadap hobinya. Sifat kekanak-kanakan
yang menjadi salah satu kekurangan tokoh Ale. Tapi julukan ‘Anjis’-nya (yang penasaran artinya
baca sendiri ya bukunya...) bikin saya gak berhenti senyum.
Ada banyak tokoh pendukung yang penting dan menarik
perhatian saya. Yang pertama adalah kedua tokoh Tara dan Agnes, sahabat Anya,
yang gokil gila, namun selalu ada ketika Anya bersedih dan memerlukan tempat
untuk bersandar.
Yang kedua, adalah sosok Harris dan Raisa, kedua adik Ale
yang bikin cerita ini lebih berwarna. Dua tokoh ini selalu bikin gereget karena
berhasil menjadi banget adik banget yang suka memanfaatkan kakaknya.
Sosok Tini sebagai ART dan Pak Sudi sebagai supir Ale dan
Anya pun, sukses bikin cerita ini makin meriah. Keduanya sigap banget
menjalankan perintah majikan, bikin saya berandai-andai punya orang-orang seperti
mereka yang siap siaga melayani keperluan saya.
Yang terakhir adalah Bapak Jendral, ayah Ale, dan ibunya.
Karakter keduanya memang khas orang tua banget yang sering saya temui di
sekitar saya. Dan karakter Ale pula benar-benar mewarisi ayahnya sebagai
pembuat kopi yang enak, juga kesetiaan terhadap pasangan yang tak terkikis cobaan.
Konflik:
Permasalahan yang terjadi dalam cerita kurang begitu memuaskan
dahaga membaca saya. Meski pun saya berharap tiba-tiba ada masalah lain yang
membuat konflik kian memanaskan hubungan Ale dan Anya, nyatanya konflik itu
hanya ada seputar pergolakan batin mereka. Namun karena gaya penulis dalam
membuat alur maju-mundur yang sempurna, sehingga sosok Ale dan Anya terasa
begitu nyata di benak saya, membuat cerita ini begitu brilian di mata saya.
Kekurangan yang saya tangkap mungkin dari ketiadaan batas
atau jeda atau garis miring dalam membedakan alur maju dan mundur dalam cerita.
Sekejap membaca alur biasa, sekejap kemudian sudah di bawa ke masa lalu tanpa tedeng
aling-aling, sehingga sedikit agak lupa berorientasi sedang dimana saya dibawa
di dalam cerita. Namun saya sendiri sulit mengartikan ini kekurangan atau
kelebihan penulis, karena meski pun tanpa batas atau jeda atau garis miring
ketika dibawa mundur dalam cerita, masih dalam paragraf yang sama saya langsung
bisa menyimpulkan bahwa saya di bawa maju atau mundur lagi, dan hanya beberapa
detik kehilangan orientasi. Teknik menulis seperti itu amazing banget
buat saya.
Dan, bagi saya yang kurang bisa menguasai bahasa Inggris,
cerita dalam buku yang banyak sekali menggunakan kalimat bahasa Inggris menjadi
kekurangan pribadi bagi saya. Membuat saya yang sedang enak-enaknya menikmati
aliran cerita, langsung tersendat begitu sampai pada kalimat bahasa Inggris
yang perlu sampai tiga kali pengulangan saya baca. Saya juga tidak menemukan typo
sama sekali. Entah karena begitu asyiknya saya terbawa alur cerita sehingga
melewatkan typo yang ada, atau memang typo itu tidak ada sama sekali,
saya merasa takjub mata saya masih betah membaca buku tebal ini hanya dalam
sekali duduk.
Unforgetting Moment:
Bagian tak terlupakan yang paling berkesan bagi saya
dalam cerita justeru ketika berada di akhir cerita. Ketika tiba-tiba Anya akan
mengatakan hal menakjubkan kepada Ale yang membuat dada saya berdebar-debar tak
sabar, dan..................................... (nangis guling-guling)
Ada lagi pesan yang saya tangkap jelas dalam cerita ini,
bahwa tidak pernah ada hubungan yang sempurna di dunia ini, yang ada hanyalah orang-orang
yang berusaha memertahankannya. (mengutip dari kata-kata Winna Effendi).
Movie:
Udah santer banget bahwa buku ini akan difilmkan, bahkan
sudah ada artis yang memerankan tokoh-tokoh dalam cerita. Saya berharap alur
cerita bisa lebih berkembang dengan tambahan konflik yang kian pelik, namun
tidak menghilangkan esensi cerita. Para artis yang terpilihpun harus bisa
memerankan sedemikian rupa para tokoh dalam cerita, terutama tokoh sentral,
dengan pergolakan batin yang luar biasa menantang mimik wajah agar mengena ke
penonton dan tereksekusi dengan baik. Saya dibuat nangis di lebih dari lima
adegan di dalam buku, dan saya ingin dibuat menangis lebih banyak lagi dalam
filmnya nanti.
Rekomendasi:
Meski pun bertema romansa berumah tangga, buku ini cocok
dinikmati untuk pembaca di atas 17 tahun. Tidak usah berharap ada adegan surrr
dan saya menghargai sekali tidak ada adegan segamblang itu di dalam cerita,
hanya seperkian persen saja. Makanya masih bisa dinikmati oleh pembaca yang
masih belum menikah. Sukur-sukur yang udah nikah ikutan baca juga, karena
banyak sekali pembelajaran berumah tangga di dalam cerita.
My Favorite Quotes:
Buanyak bingit. Sampai saya takjub karena di setiap
kalimat penjelas selalu terselip kata-kata yang ngena banget sampai ke hati. Belum
lagi penulis memadukan banyak sekali perumpaan dari film, buku, dan tokoh penting
yang ada di dunia nyata. Bikin cerita makin ciamik dan renyah. Beberapa quotes
yang saya sukai:
1.
Berani menjalin hubungan berarti berani menyerahkan
sebagian kendali atas perasaan kita kepada orang lain. Menerima fakta bahwa
sebagian dari rasa kita ditentukan oleh orang yang menjadi pasangan kita. (Anya) (Hal. 8)
2.
Di tempat yang paling seru sekali pun, kita pasti punya
batas kebetahan di situ.
(Ale) (Hal. 12)
3.
Hidup ini jangan dibiasakan menikmati yang instan-instan, Le, jangan mau gampangnya saja.
Hal-hal terbaik dalam hidup justru seringnya harus melalui usaha yang lama dan
menguji kesabaran dulu.
(Bapak Jendral kepada Ale) (Hal. 34)
Dan masih banyak lagi. 5 bintang untuk buku ini.