Tuesday 20 December 2016

[REVIEW] You Are My Moon


Penulis             : Rompaeng
Penerjemah      : Suchada Ung-Amporn, Wisnu Wardhana
Penyunting      : K.P. Januwarsi
Penerbit           : Penerbit Haru
Proofreader     : Titish A.K
Jumlah Hlm     : 296 hlm, 19 cm
ISBN               : 978-602-7742-81-9

SINOPSIS

Darika merupakan cucu dari seorang penjaga makam yang tidak memercayai adanya cinta sejati dikarenakan masa lalu orang tuanya. Darika hidup dengan realistis untuk bekerja demi menghasilkan uang yang banyak. Dia juga memiliki pribadi yang kuat untuk berhemat karena kondisi keluarganya. Meski segala hidupnya dilaluinya dengan sangat sederhana, Darika memiliki sikap yang begitu blakblakan terhadap segala sesuatu. Karena sikapnya yang unik dan berani inilah dia akhirnya berhasil mendapatkan perhatian bangsawan tampan, Juntharakan.
Juntharakan Navarat memiliki segala hal yang dibutuhkan oleh kaum adam di dunia. Dia adalah seorang bangsawan keturunan raja dengan ketampanan di atas rata-rata. Dengan sikapnya yang tenang, dia berhasil menjadi primadona dikalangan bangsawan mau pun rakyat biasa. Namun sayangnya, ambisinya untuk meraih kesuksesan dalam bekerja menjadikannya sosok yang tidak terlalu memikirkan urusan percintaan.
Pertemuan Juntatharakan dan Darika merupakan hal tak terduga, dan ketika Juntharakan meminta gadis itu untuk menjadi bodyguardnya, demi melindunginya dari isteri sepupunya yang centil, kehidupan mereka berdua pun berubah di luar rencana.
*********************

REVIEW

You Are My Moon adalah novel Thailand pertama yang saya baca, dan eksekusinya sungguh di luar ekpetasi saya. Ceritanya begitu runtun namun tidak berbelit, menarik, dan mengalir teratur sehingga sulit berhenti untuk membaca ketika sudah masuk ke bab dimana kedua tokoh utama bertemu. Novel ini saya habiskan dengan dua kali duduk. Di bab awal, karena belum terbiasa dengan novel Thailand dan nama-nama tokohnya yang asing di telinga, saya sempat jenuh membaca terutama karena otak saya harus mencerna dan mengingat berkali-kali tentang sebutan atau gelar yang disandang para tokoh yang kebanyakan merupakan para bangsawan. Namun ketika memasuki bab ketiga, saya tidak berhenti membaca sampai habis hingga semalam suntuk.
“Aku pasti sudah gila! Pikirkan tentang tubuh mayat saja, Darika. Jenazah! Meskipun dia sangat tampan, dia pasti akan menjadi mayat juga suatu hari nanti.” (Hal. 67)
Daripada sosok Juntharakan yang digambarkan begitu sempurna bak dewa, saya justeru terpesona dan jatuh cinta pada sikap Darika yang hidup sederhana, pekerja keras, dan begitu blakblakan terhadap situasi apa pun. Bukan karena asal bicara, namun dia selalu bersikap menuruti perasaannya. Darika digambarkan sebagai sosok yang ‘apa adanya’, meski pun pada kenyataannya Darika hanya tidak memedulikan penampilannya. Belum lagi sikapnya yang memberi jarak pada lelaki dikarenakan masa lalu orang tuanya yang begitu membekas dan terpatri kuat hingga memengaruhi sudut pandang Darika pada kehidupan percintaan. Bisa dibilang dia adalah anak broken home dimana ayahnya lebih memilih wanita lain dan meninggalkan dia dan ibunya di kuil bersama sang kakek. Darika juga tidak pernah malu untuk menceritakan kondisi keluarganya pada siapa pun, namun dia akan sangat marah bila ada yang merendahkannya.
“Sungguh. Rumahku terletak di pemakaman di dalam kuil. Aku harus berada di sana saat sang Biksu melakukan ritual pemakaman. Rumahku dibangun dari peti-peti mati. Ketika mereka mengkremasi mayat, mereka tidak membakar petinya. Kami bisa menghemat banyak uang. Kakekku membangun rumah itu sendiri. dia juga sering menulis dharma dan semua nama neraka di sana.” (Hal. 104)
Berkebalikan dengan Darika, Juntharakan memiliki kesempurnaan dari berbagai sisi. Bukan karena kehidupannya yang kaya raya dan bergelar bangsawan, atau wajahnya yang begitu rupawan dan sanggup membuat Darika meleleh berkali-kali, namun karena keharmonisan keluarganyalah yang membuat Darika iri setengah mati pada kehidupan Juntharakan. Membicarakan Juntharakan memang tak bisa saya tampik telah mampu membuat saya mesem-mesem sendiri. Namun cara berhemat Darika dan sudut pandang wanita itu yang begitu unik terhadap segala situasi, berhasil memikat saya untuk menyelesaikan membaca buku ini secepat mungkin.
“Yep. Aku memikirkannya karena aku tidak punya uang, sehingga aku tidak sanggup membeli benda-benda ini. Sudah biasa bagi orang berpakaian seperti kita untuk mencari sampel. Tidak ada yang peduli. Kalau ada wanita cantik yang berpakaian sangat bagus mengambil sampel ini, orang-orang akan memperhatikannya. Lihat kan jadi orang biasa-biasa saja bisa berguna juga.” (Hal. 31)



Selain kedua tokoh utama tersebut, ada tiga tokoh pendukung yang berhasil menarik perhatian saya, sehingga betah sekali untuk melanjutkan membaca. Yang pertama adalah Praguydao Navarat, ibu Juntharakan. meski pun usianya 57 tahun, dia selalu tampak muda karena selalu merawat penampilannya, terutama pada rambutnya yang dipotong pendek dan sering diwarnai karena Praguydao berpikir itu membuatnya terlihat segar dan sesuai dengan kepribadiannya. Dia adalah sosok ibu modern yang begitu posesif terhadap anak semata wayangnya. Meski pun begitu, dia selalu memosisikan diri sebagai ibu dan juga sahabat bagi Juntharakan sehingga kedekatannya dengan sang anak tidak perlu diragukan lagi. Dan yang lebih penting, Praguydao bukan hanya memiliki nama panggilan yang sama dengan Darika, yaitu ‘Dao’, namun juga karakter dan sifat mereka begitu mirip hingga saya menyimpulkan ketertarikan Juntharakan kepada Darika didasari karena kemiripan karakter Darika dengan ibunya.
Sosok kedua adalah Juntharapanu Navarat, ayah Juntharakan yang begitu berwibawa dan memiliki posesif berlebih kepada isterinya, Praguydao. Dia sangat mencintai sang isteri sehingga selalu turut serta kemana pun sang isteri pergi, meski pun isterinya selalu melakukan perbuatan anehnya untuk menguntit puteranya sendiri. Juntharapanu mewariskan sifat yang bijaksana dan berwibawanya kepada Juntharakan, sehingga dua orang ini tampak begitu sempurna seolah tanpa cacat.
Seandainya orang lain mendengar obrolan ini, mereka akan berpikir bahwa mereka pasti salah dengar. Karena Juntharakan tenang dan bijaksana seperti Juntharapanu. Mereka yang tidak begitu dekat dengan Juntharakan akan menganggap ia serius seperti ayahnya. Akan tetapi, mereka yang dekat dengan pemuda itu tahu bahwa ia punya selera humor seperti ibunya. (Hal. 43)
 Kebebasan kedua orang tua Juntharakan untuk membiarkan Juntharakan membuat keputusan sendiri dalam hidupnya inilah yang membuat saya takjub. Belum lagi sikap penerimaan mereka kepada Darika, yang notabenenya hanyalah gadis miskin, jauh sekali dengan kalangan mereka. Seolah harta bukanlah apa-apa. Bukan hal yang besar untuk menjadi penghalang cinta anaknya.
Sosok ketiga adalah Pitchaya, isteri sepupu Juntharakan. Dia memiliki karakter yang haus akan gelar dan kekuasaan, dengan penampilan yang sengaja dibuat mencolok demi memikat hati Juntharakan. Di depan suaminya, Pitchaya tampak sebagai sosok yang lembut dan penyayang serta sangat mencintai suaminya. Namun sebenarnya dia memiliki ambisi besar untuk mendapatkan lelaki yang lebih tinggi derajatnya, dan juga lebih kaya tentunya, seperti Juntharakan. Membaca bagian Pitchaya, bikin saya gemes-gemes kasihan. Tingkahnya yang konyol dalam menarik perhatian Juntharakan, secara halus maupun kasar, selalu berhasil dibuat skakmat oleh ucapan maupun perbuatan Darika yang memang bertugas menjaga Juntharakan dari wanita itu.
Pokoknya buku ini berhasil mengalihkan dunia saya. Lupa banget waktu. Hanya sedikit sekali typo yang saya temukan. Bisa dihitung dengan jari. Kekurangan pada buku ini hanya pada sudut pandang saya pribadi sebagai pembaca yang belum terbiasa dengan segala hal menyangkut Thailand dan nama-nama serta gelar yang melekat pada masing-masing karakter.
Namun membaca ini juga memberikan sudut pandang baru bagi saya yang baru pertama kali membaca buku terjemahan Thailand yang ternyata disusun dengan ciamik sekali. Jalan ceritanya sangat mengalir dan setting waktu mau pun tempat dijelaskan dengan gamblang. Belum lagi saya juga dikenalkan dengan beberapa tempat terkenal di Thailand. Menumbuhkan keingintahuan dan minat saya untuk menyambangi negeri tersebut.
4,5 bintang untuk buku ini.


[REVIEW] Being Henry David


Penulis             : Cal Armistead
Penerjemah      : Dewi Sunarni
Penyunting      : Novianita
Penerbit           : Penerbit Spring
Proofreader     : Seplia
Jumlah Hlm     : 256 hlm, 19 cm
ISBN               : 978-602-71505-7-7

SINOPSIS

‘Hank’ tersadar di Stasiun Penn, New York tanpa ingatan. Pemuda berumur tujuh belas tahun itu tidak tahu namanya, siapa dirinya, dan dari mana ia berasal. Satu-satunya petunjuk yang ia miliki adalah sebuah buku berjudul ‘Walden’ karya Henry David Thoreau yang ada di tangannya.
Menggunakan buku itu, ia mencoba mencari jati dirinya. Dapatkah ia mengingat kembali siapa dirinya? Atau lebih baik dia tidak mengingatnya sama sekali?
***************

REVIEW

‘Hank’ sebenarnya bukanlah nama sang tokoh utama. Hank mendapatkan nama itu dari teman pertama yang didapatkannya ketika hilang ingatan, yaitu Jack. Jika saya berada di posisi Hank, saya mungkin sama bingungnya dengan lelaki itu. Terbangun dengan otak tanpa ingatan, dan hanya bermodal sebuah buku Thoreau di tangan, bukanlah keadaan yang menyenangkan. Namun karena buku itu satu-satunya petunjuk, Hank pun mulai menjalani hidup dengan menelusuri darimana Thoreau berasal, berharap bahwa di sana Hank bisa mendapatkan kembali ingatannnya.
Bisa saya katakan bahwa buku ini filosofis sekali. Hank melakukan semua hal yang ada dalam buku, meski pun itu dimaksudkan sebagai petunjuk untuknya, namun kenyataannya Hank merasa ada banyak sekali kemiripan dirinya dengan Thoreau, terlebih dia menghafal isi buku Walden tersebut. Maka dengan hanya bermodal buku dan praduganya yang kuat, dia pun mulai mencari identitas dirinya dengan mencari tahu semua tentang Thoreau.
Bagi saya yang penyuka filsafat, meski pun tidak bisa dikatakan ahli dalam bidang tersebut, saya terhanyut sekali ke dalam buku ini. Apalagi dengan banyaknya kalimat-kalimat Thoreau yang menyentuh sanubari saya, hampir menyentuh batas empati, sehingga saya merasa bahwa saya adalah sosok Hank yang tengah mencari jati diri.
Berikut kata-kata Henry David Thoreau yang membuat saya terpukau:
1.      Aku menyadari bahwa menyendiri adalah bagian terbaik dari waktu. Ditemani, walaupun dengan sahabat terbaik, akan segera melelahkan dan lenyap. Aku sangat menyukai kesendirian. Aku tidak pernah menemukan sahabat yang setia seperti kesendirian. (Hal. 61)
2.      Jika seseorang tidak bisa menyamakan langkah dengan teman-temannya, mungkin itu karena dia mendengarkan penabuh genderang yang berbeda. Biarkan dia melangkah sesuai irama music yang dia dengar, seberapa pelan atau cepatnya itu. (hal. 62)
3.      Aku mengetahui ini, setidaknya, lewat percobaanku; bahwa jika seseorang bergerak dengan penuh keyakinan diri menuju mimpi-mimpinya, dan berusaha keras untuk menjalani hidup yang dia bayangkan, dia akan meraih keberhasilan yang tak terduga kelak. (Hal. 62)
4.      Lebih daripada cinta, daripada uang, daripada ketenaran, berikan aku kebenaran sebagai kekayaan yang sejati. (Hal. 244)
5.      Alam semesta lebih luas daripada pandangan kita tentangnya. (Hal. 245)
6.      Banyak laki-laki yang menjalani kehidupan dengan keputusasaan tersembunyi. (Hal. 245)
7.      Saat kita kehilangan dunia, barulah kita mulai menemukan diri kita sendiri. (hal. 245)
8.      Aku pergi ke hutan karena aku ingin hidup bebas, untuk menghadapi hanya fakta-fakta penting dalam hidup, dan melihat jika aku tidak bisa belajar dari apa yang akan diajarkannya, dan tidak, ketika aku akan mati, menyadari bahwa aku belum menjalani kehidupan. (Hal. 76)
Dan dengan semua kalimat-kalimat Thoreau tersebut, Hank mulai menjalani hidup dengan berliku-liku. Ketika kemudian puzzle ingatannya mulai tersusun, saya tidak mendapatkan kejutan-kejutan berarti seperti yang saya harapkan. Terlebih ada banyak typo bertebaran. Namun tentu saja karena Hank menjalani kehidupan tanpa ingatan dengan bermodal kalimat-kalimat Thoreau inilah yang bagi saya menjadi nilai keindahan tersendiri bagi buku ini. Seolah Hank tengah menjalani hidup sebagai seorang filusuf, dan bagi saya kisah ini cantik sekali. Begitu elegan karena banyak keindahan kata. Membuat angan saya melambung tinggi membayangkan kalimat-kalimat Thoreau yang puitis sekali.

4 bintang untuk buku ini.

Sunday 30 October 2016

[REVIEW] A Life Less Ordinary


Penulis             : Baby Halder
Penerjemah      : FX Rudy Gunawan
Editor              : Ratih Kumala
Proof Reader   : Gita Romadhona, Christian Simamora
Penerbit           : Gagas Media
Jml halaman    : 266 hlm, 14 x 20 cm
ISBN               : 979-780-274-4

Setiap perempuan dilahirkan untuk menjadi kuat. Tepatnya, setiap manusia dilahirkan untuk menjadi kuat.
(Pengantar)
___________________________________________________________________
SINOPSIS
Buku otobiografi merupakan kisah nyata penulis, Baby Halder, seorang gadis India yang tidak pernah sedikit pun memperoleh kasih sayang dari orang-orang terdekat yang diharapkannya. Di usia yang masih sangat kecil, Baby sudah ditinggalkan oleh ibu kandungnya dan ditelantarkan oleh ayahnya. Di usia belia, yaitu 13 tahun kurang, ia jatuh  ke tangan suami yang kerap memukulinya. Ia bahkan harus menanggung rasa sakit yang teramat sangat ketika harus melahirkan ketiga anaknya di usia yang masih sangat muda. Sempat terbesit dalam pikirannya  untuk meninggalkan kehidupan yang hanya memberinya rasa sakit fisik maupun kemiskinan, dan penderitaan. Namun jika ia pergi, kelak ketiga anaknya akan mengalami roda karma seperti hidupnya sekarang, maka ia pun memilih tinggal.
Di segala keterbatasannya, Baby tetap memperjuangkan pendidikan dan kehidupan yang layak bagi ketiga anaknya agar mendapatkan masa depan yang lebih baik, tidak seperti dirinya. Baby yang sangat menyukai sekolah, walau pun sekolahnya hanya sampai SD, tapi ia berusaha untuk mengajar dan memberi ilmu kepada anak-anaknya.  Karena perlakuan suaminya yang tidak pernah peduli padanya, bahkan sering sekali mengeluarkan kata-kata kotor kepada Baby dan sering memukuli Baby, akhirnya Baby pun mengambil keputusan besar yaitu pergi meninggalkan rumah dan suaminya.
Baby bekerja sebagai pembantu rumah tangga setelah ia pergi meninggalkan suaminya. Ia pergi dari satu rumah ke rumah yang lain hingga ia dapat memberikan uang sebagai nafkah untuk anak-anaknya meskipun kurang dari cukup. Ia juga tidak mendapat perlakuan yang tidak baik selama ia bekerja sebagai pembantu di beberapa rumah. Akan tetapi dengan tekad yang kuat untuk menghidupi ketiga anaknya, ia pun tidak menyerah dan putus asa dan memilih bersabar menghadapi cobaannya. Setelah beberapa kali berpindah tempat menjadi pembantu rumah tangga di beberapa daerah di Delhi, akhirnya ia pun bekerja di suatu rumah yang mengubah jalan hidupnya, yaitu rumah seorang lelaki muslim, Dr. Prabodh Kumar. Di tengah keluarga itu ia diperlakukan dengan sangat baik. Prabodh Kumar yang berprofesi sebagai penulis, menyadari bakat dan ketertarikan Baby terhadap sastra. Ia pun meminta Baby untuk menyalurkan dan mengasah bakatnya untuk menulis apa pun yang ingin ia tulis. Berkat dukungan dari orang sekitarnya, akhirnya Baby pun makin bersemangat untuk menulis dan terciptalah karya A Life Less Ordinary ini.
**********************
REVIEW
Sama seperti buku sebelumnya yang saya baca, Stolen Innocence, buku ini menceritakan tentang seorang wanita yang ingin keluar dari penderitaannya.  Berbeda dengan kisah Elissa di Stolen Innocence dimana dia berjuang keluar dari sekte ajarannya yang sesat, dalam buku ini Baby Halder berjuang untuk keluar dari penderitaan yang dialaminya di keluarganya sendiri. Dalam buku memoarnya ini, Baby berkisah tentang masa kecil yang dipenuhi pertengkaran orang tuanya, sampai kemudian ibunya pergi meninggalkannya dengan sang ayah yang tak peduli padanya dan memilih menikah lagi dengan wanita yang tak kalah kejam memerlakukannya.
Saya tersentuh dengan kecintaan Baby terhadap pendidikan dengan begitu besar. Baby yang masih polos menyukai sekolah dan pelajarannya. Namun sayangnya pendidikannya harus terhenti ketika ayah dan ibu tirinya tidak memberikan biaya sekolah lagi dan malah menikahkannya dengan lelaki yang tidak dikenalnya yang berusia belasan tahun lebih tua darinya, diusianya yang bahkan belum menginjak 13 tahun. Hati saya teriris ketika membaca Baby kecil yang dipaksa keadaan untuk bersikap layaknya wanita dewasa dalam waktu singkat. Merasakan penderitaan mengandung di usia yang sangat muda, merasakan kesakitan fisik akibat perlakuan suaminya yang kasar, dan penderitaan menghadapi kemiskinan yang tak berkesudahan.

Sekarang, jika memikirkan kembali peristiwa itu, Baby tak habis pikir bagaimana bisa ia melewatkan hari awal penderitaan itu dengan keriangan anak-anak? Tidakkah sedikitnya Baby tahu kalau hari itu adalah awal hari-hari kelabu penuh penderitaan sepanjang hidupnya? Tidakkah sedikitnya dia tahu masa depan yang menantinya sejak hari itu? Hari itu adalah hari rabu, tanggal 17, bulan Agrahayan, hari itulah dia dinikahkan. (Hlm. 57)

Membaca kisah Baby, rasa-rasanya masalah yang saya hadapi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengannya. Dan yang membuat saya terkagum-kagum lagi adalah semangat pantang menyerahnya menghadapi hidup. Apalagi dengan kehadiran ketiga anaknya yang semakin menguatkan dirinya untuk merubah hidupnya menjadi lebih baik dengan meninggalkan suami yang semena-mena padanya.


Lagi-lagi pemikiran Baby akan pentingnya pendidikan menyentuh hati saya. Mati-matian ia berusaha menyekolahkan anak-anaknya, dan mengorbankan dirinya sendiri dalam penderitaan sebagai pembantu rumah tangga demi sesuap nasi dan biaya pedidikan anak-anaknya.
Pelajaran yang saya ambil dari buku ini begitu banyak. Bahkan saya serasa mendapat siraman rohani setelah membaca buku ini. Pentingnya pendidikan bagi siapa saja, juga semangat juang seorang Baby Halder dalam menjani hidup sangat patut diacungi jempol. Baby memberikan pelajaran berharga bagi semua wanita, siapa saja yang hidupnya merasa bagai neraka, bahwa kita bisa merubah keadaan kita selama semangat untuk berjuang tidak padam. Very recommended untuk semua wanita di dunia.







[REVIEW] Stolen Innocence


Penulis             : Elissa Wall dan Lisa Pulitzer
Penerjemah      : Endang Sulistiyowati
Penyunting      : Titis Wardhana
Penerbit           : Dastan Books
Jumlah Hlm     : 404 hlm, 16 x 24 cm
ISBN               : 978-979-3972-79-4

Ini adalah kisahku. Setiap kejadian dijabarkan berdasarkan ingatanku dan memang benar-benar terjadi. Aku telah mengubah nama beberapa orang tokoh dalam kisahku ini untuk melindungi privasi mereka.
(Kata Pengantar)
_________________________________________________________________
SINOPSIS
Elissa Wall adalah mantan anggota sekte FLDS yang dipaksa menikah di usia 14 tahun. Terlahir sebagai anggota dari sekte poligami, tidak membuat Elissa secara otomatis menyetujui ajaran sektenya, di mana seorang suami harus memiliki minimal empat istri untuk dapat masuk surga.. Elissa terus menerus mempertanyakan ajaran sektenya yang tidak masuk akal, misalnya saja utusan Tuhan, yaitu sang Nabi yang dipanggil Paman Warren dapat memperistri wanita mana pun yang ia inginkan walaupun masih di bawah umur. Anak-anak dilarang bersekolah di sekolah umum. Dan sering kali, anak-anak perempuan dipaksa menikah saat mencapai umur remaja.
Ketika melihat Elissa memiliki sifat memberontak, Paman Warren menikahkan Elissa yang saat itu masih berusia 14 tahun dengan sepupunya yang bernama Allen, berumur 19 tahun. Pernikahan itu dilangsungkan secara diam-diam karena Elissa masih di bawah umur. Hampir tiap malam, Elissa diperkosa oleh Allen atas nama kewajiban sebagai anggota jemaah yang baik. Banyak sekali penderitaan dan tekanan yang dialami Elissa, sang pengantin belia, yang harus ia lalui hari demi hari, malam demi malam. Tapi Elissa tidak tinggal diam. Ia berjuang keras untuk mendapatkan kebebasannya sendiri, juga kebebasan rekan-rekannya sepenanggungan.
**************************

REVIEW
Pertama kali melihat buku ini saya tidak tertarik sama sekali dengan lebar dan tebalnya ukuran buku, yaitu 404 halaman, 16 x 24 cm. namun begitu melirik kover belakangnya, saya tak pikir panjang untuk langsung mengambil buku ini dari rak.
Ada dua hal yang membuat saya tergelitik dan tetiba ingin sekali membaca buku ini. Yang pertama karena sinopsisnya yang bikin saya menganga karena terkejut ada ajaran agama tertutup di Amerika yang sedikit sama dengan ajaran agama saya, yaitu boleh beristri empat, dan yang kedua karena buku ini ditulis oleh korban sendiri.
Buku ini merupakan autobiografi, dimana sang penulis, Elissa Wall sendiri merupakan mantan anggota kumpulan agama tertutup di Amerika yang bernama Fundamentalist Church of Jesus Christ of Latter Day Saints atau yang disingkat FLDS.  Ini merupakan kumpulan agama ortodoks yang mengamalkan poligami, padahal seperti yang diketahui selama ini, memiliki istri lebih dari satu merupakan kesalahan besar di Amerika yang menyandang paham monogami, atau beristri satu. Jadi ini merupakan sebuah ajaran sesat di Amerika, yang apabila tertangkap, para pelaku bisa dihukum dengan berat.


Buku ini menceritakan secara detail kisah hidup penulis ketika masih menjadi anggota FLDS. Dimana kehidupan mereka terasing dari orang lain, dan paham kumpulan mereka yang akan menjadi lebih terhormat di mata anggota kumpulan lainnya apabila mereka memiliki lebih banyak istri lagi dari yang lain. Apalagi Elissa menikah dibawah tekanan ketika umurnya masih sangat muda, yaitu 14 tahun.  Ketika umurnya sudah lebih matang, Elissa dengan keberaniannya mulai bekerja sama dengan aparat penegak hukum dan mengajukan tuntutan terhadap sistem FLDS. Hebatnya lagi, demi tercapainya hak-haknya sebagai wanita selama ini, juga demi memberikan hak-hak kepada wanita lain sesama anggotanya, Elissa pun mendirikan sebuah yayasan MJ untuk membantu dan mendukung para korban agar memulai hidup mereka kembali dari awal dengan benar.
Buku ini saya rekomendasikan untuk pembaca di atas umur matang karena ada banyak adegan seksualitas yang dipaksakan dan membuat hati saya miris ketika membacanya. Tulisannya yang runtut, jelas, detail, tanpa dikurangi mau pun ditambah, menjadi nilai plus bagi saya. Bahasanya yang asyik dan mudah dimengerti, didukung dengan alur cerita yang selalu dikejutkan dengan tugas-tugas yang harus Elissa lakukan sebagai jamaah yang baik, membuat saya betah untuk menyelesaikan bacaan ini dengan segera.  Terutama karena sudut pandang cerita memakai sudut pandang orang pertama ‘aku’, yakni Elissa sendiri, yang seolah memosisikan saya menjadi sosok Elissa dalam cerita. Bukan hanya mengurai simpati namun juga empati.  Dan kejutannya lagi, ada beberapa halaman berwarna di tengah cerita yang semuanya merupakan foto asli kehidupan Elissa, sebagai bukti bahwa kisah yang dia ceritakan dalam buku benar adanya.




Lima bintang saya berikan untuk buku ini.





Saturday 29 October 2016

[REVIEW] Love In The Kingdom Of Oil



Penulis             : Nawal El-Saadawi
Penerjemah      : Masri Maris
Penerbit           : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Halaman          : 252 hlm, 11 x 17 cm
ISBN               : 978-979-461-811-0

Berita itu muncul dalam surat kabar hari itu, bulan September. Hanya setengah baris, cetakannya pun kabur, bunyinya:
Seorang perempuan pergi cuti dan tidak kembali. (Hlm. 1)
_______________________________________________________________________

BLUR
Diceritakan dalam novel ini seorang perempuan di negeri Timur Tengah yang bekerja tidak selayaknya perempuan lain. Dia mengerjakan apa yang kaum lelaki kerjakan yaitu sebagai arkeolog, yang kemudian menghilang tanpa jejak, atau diduga cuti dengan alasan yang tak jelas. Para pembaca diajak mengalami alur cerita yang dialami perempuan tersebut secara tak lazim. Beragam pertanyaan menghinggapi benak kepolisisan yang menyelidiki kasus ini: apakah perempuan ini tipe pemberontak? Apakah ini sedang mengalami dilema moral? Tak seorang pun memahami bagaimana perempuan tersebut lenyap begitu saja, meninggalkan suami dan rumahnya.
****************

REVIEW
Seperti yang tertera di belakang kovernya, di novel ini penulis menyajikan genre satir surealis dengan memvisualkan hakikat berpikir. Novel ini merupakan novel terjemahan Mesir yang memiliki judul asli Al-Hubbu Fi Zamani An-Nafthi. penulis yang terkenal sebagai tokoh feminis di Mesir ini, menghadirkan keterkaitan antara perempuan dengan sejarah Mesir masa pra-Islam. Pada masa pra-Islam dulu, perempuan diposisikan sebagai imperior yang harus selalu tunduk atas perintah lelaki, sementara lelaki yang diposisikan sebagai superior bebas memerlakukan perempuan sekehendak mereka.

“Aku tak mengerti mengapa kau tidak membebaskan aku.”
“Membebaskanmu?”
“Ya. Aku manusia seperti kau, aku punya hak.”
“Apa?”
“Hak-hak perempuan! Apa kau tak tahu hak-hak perempuan?”
“Kami belum pernah mendengar hal seperti itu. Kami memiliki hak laki-laki. Hanya itu.” (Hlm. 68)

Novel ini merupakan cerita paling surealis yang pernah saya baca. Butuh pemahaman dan ketelitian tingkat tinggi untuk mengartikan setiap adegan pada alur cerita. Yang menarik, tidak ada satu pun nama tokoh yang disebutkan dalam novel ini. Hanya jenis kelamin dan profesi para tokoh saja yang disebutkan sebagai pengganti nama-nama mereka, seperti tokoh perempuan, suami, lelaki, komisaris polisi, atasan si perempuan, raja, para lelaki, dan para perempuan.

Perempuan itu terus melangkah, sambil berpegangan pada tali tasnya yang terjulai dari bahunya, seolah-olah ia sedang digerakkan oelh sesuatu yang tak kuasa ia lawan ke sebuah tuuan yang sudah pasti. (Hlm. 13)
Suami perempuan itu membisu, kedua bibirnya terkatup rapat. Matanya terbelalak seperti orang tersentak dari tidur. (Hlm. 3)
Atasan perempuan itu duduk bersilang kaki. (Hlm. 5)
Inspektur polisi mengangguk tanda mengerti. (Hlm. 5)

Tema novel ini kental dengan unsur feminisme yang menuntut persamaan hak perempuan dan lelaki, dimana seorang perempuan yang lazimnya tinggal di rumah mengurus suami, pada masa itu, namun ia malah bekerja sebagai arkelog dengan segala caci maki yang diterimanya di tempat kerja oleh para rekan kerjanya. Belum lagi tindakan sewenang-wenang suaminya yang pada masa itu dianggap hal lumrah, namun ternyata mengusik batin si perempuan.
Dengan keinginannya yang kuat untuk meraih kebebasan, akhirnya si perempuan pun meninggalkan rumah dan berkelana dengan menggunakan profesinya sebagai arkeolog untuk menemukan dan menggali patung dewa. Karena kepergiannya ini, berbagai pertanyaan pun menghinggapi benak kepolisian yang menyelidiki kasus ini. Mengganggap dia adalah seorang pemberontak, atau bahkan dia sedang gila. Bahkan media cetak pun menggembar-gemborkan masalah ini seolah-olah kepergian perempuan itu merupakan hal yang paling tak masuk akal dan  baru pertama kali dilakukan oleh perempuan masa itu, bahkan hingga sampai ke telinga raja dan mendapat perhatian sepenuhnya oleh penguasa tersebut.

Perempuan itu sedang berteriak-teriak ketika ia siuman. Di mana hak-hak perempuan? Ia sedang terbaring di tempat tidur. Di sekelilingnya ada perempuan-perempuan penjunjung tempayan. Di depan mata mereka ada awan. Selapis minyak hitam menutupi bola mata mereka, dan ada perintah dari Baginda Raja: ‘Setiap perempuan yang tertangkap dengan kertas dan pena dalam genggamannya akan dihukum’. (Hlm. 81)

Perempuan ini digambarkan sebagai sosok yang berani dan bermental kuat, yang ingin keluar dari keimperiornya selama ini. Ia ingin membuktikan bahwa perempuan pun bisa mengerjakan profesi laki-laki, dan perempuan pun adalah makhluk yang kuat sama seperti laki-laki dengan membuktikan bahwa dia bisa menerima siksaan batin dari rekan kerjanya di arkeologi. Bukan hanya itu, perempuan ini juga membuktikan bahwa ia memiliki hasrat yang sama seperti laki-laki untuk menjadi pemimpin misalnya, seperti keinginannya yang kuat pada saat itu untuk menjadi Nabi agar bisa menyembuhkan orang-orang.

“Apa katamu, Engkau ini bicara apa?”
“Aku akan menjadi nabi… agar aku dapat menyembuhkan orang.”
“Apa kau sudah gila? Tidak ada nabi perempuan.” (Hlm. 43)


Mengenyampingkan ceritanya yang surealis dan agak absurb menurut pemahaman saya yang dangkal, cerita ini memberikan pesan yang amat besar tentang asal mula perjuangan perempuan di Mesir pada masa pra-Islam, yang diceritakan penulis dengan gaya sastranya yang khas melalui tokoh perempuan. Penulis sendiri, yakni Nawal El-Saadawi memang terkenal melahirkan semua karyanya yang bertema tentang perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak-haknya. Ada banyak karya-karyanya yang disensor oleh badan Mesir dan dilarang di Saudi Arabia dan Libya karena terlalu jauhnya penulis sebagai pejuang hak-hak wanita, menulis karya-karyanya yang dinilai sebagian Negara tak pantas dibaca.
Novel Love In The Kingdom of Oil ini salah satu karya fenomenalnya yang menurut saya bukanlah bacaan ringan yang bisa dinikmati oleh semua kalangan. Novel ini benar-benar memvisualkan hakikat berpikir kita, sehingga dibutuhkan kehati-hatian, bahkan pengulangan bacaan agar bisa memahami isi cerita yang ingin disampaikan penulis. Untuk yang ingin mengetahui bagaimana gerakan Feminis lahir, atau yang tertarik untuk menganalisis Feminisme, novel ini saya rekomendasikan untuk anda.




Friday 28 October 2016

[REVIEW] Magic Banana



Penulis             : Ninna Lestari
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Jml Halaman   : 264 Halaman
ISBN               : 978-602-03-3393-9

Sinopsis

Kehidupan Rialfa Kaisar atau yang dipanggil Alfa, berubah 180 derajat sejak kematian saudari kembarnya, Alfi, karena kecelakaan.  Setelahnya, Alfa hidup dalam kubangan kesedihan yang berlarut-larut. Belum lagi dengan masalah ‘masa lalu’ dalam keluarganya yang kian membuatnya berubah menjadi sosok Alfa yang berbeda di mata para sahabatnya.
Banana adalah sosok siswi baru SMA  Cakrawala yang nyentrik dan penyuka warna kuning. Bukan hanya karena namanya yang berarti pisang, namun gadis itu memang sangat menyukai buah pisang dan selalu membawa buah itu kemana-kemana dan memakannya di berbagai kesempatan.
Bermula dari namanya yang unik, Banana dipertemukan dengan Alfa dan mendapatkan perlakuan usil dari lelaki itu. Alfa yang semakin senang mengganggu Banana ditiap kesempatan, sementara Banana yang merasa ketiban sial karena selalu dipertemukan tidak sengaja dengan lelaki itu, pada akhirnya selalu bertengkar untuk segala hal.
Apakah perasaan mereka akan berubah seiring pertemuan mereka? Atau selamanya akan menjadi seperti pasangan Tom and Jerry dalam cerita?
************
Magic Banana disajikan dengan bahasa yang ringan, khas anak SMA Ibu Kota, dengan bahasa sehari-hari yang mudah sekali dicerna. Sesuai dengan temanya, membaca buku ini memang membawaku kembali ke ingatan masa-masa SMA yang penuh warna. Banana di gambarkan sebagai siswi baru yang tidak segan-segan memamerkan hobinya makan pisang dan penampilannya yang nyentrik dengan serba kuning, juga sosok Alfa yang berperan sebagai senior yang otoriter terhadap juniornya, memang sangat tepat menggambarkan atmosfir anak muda SMA jaman sekarang.
Bukan hanya karena menceritakan tentang Banana, buku ini juga menyajikan pengetahuan penting tentang aneka macam pisang dan manfaatnya, yang seketika membuat saya tiba-tiba ingin memakan buah itu. Alfa diceritakan dengan pas sebagai seorang senior yang usil, namun banyak menyimpan kesedihan akan kematian saudarinya dan juga masalah lain dalam keluarganya. Penulis juga menggambarkan Sosok Alfa sebagai remaja yang selalu mengenakan jaket dan Beanie yang menjadi ciri khasnya di mata teman-temannya. Sementara sosok Banana dengan jiwa mudanya yang mambara, dan pantang menerima bullyan seniornya, juga digambarkan penulis dengan ciri khas yang menonjol sebagai penyuka pisang dan warna kuning. Namun menurut saya, di beberapa bagian, ucapan yang Banana  lontarkan terlalu dewasa untuk ukuran remaja kelas 10 SMA.  Terlalu berbeda dengan gambaran penampilan awalnya yang ceriwis dan agak childish.
“Berbeda bukan berarti nggak lebih baik. Kadang manusia itu terlalu pemalas, mereka Cuma menilai orang lain sekilas tanpa mau susah payah mengulas lebih dalam. Nggak selamanya yang tampak buruk di luar, buruk juga di dalam.” (Hal 95)
Buku ini juga kental dengan indahnya persahabatan di masa SMA. Penulis berhasil  membuat saya tersentuh dengan jalinan persahabatan yang terjadi pada kedua tokoh sentral.
“Sahabat yang baik itu bakalan marah saat salah satu sahabatnya berbuat salah, bukan malah membenarkan atau justru ikut-ikutan” (Hal. 115-116)


Tentunya penulis juga tak luput untuk menyajikan kisah cinta sebagai menu utama di dalam cerita. Buku ini mengajarkan kita untuk lebih jujur dan terbuka, juga mengajarkan untuk merelakan dan mengikhlaskan sesuatu. Semua pemeran, baik tokoh sentral mau pun tokoh pendukung diceritakan dengan apik oleh penulis tentang masalah perasaan yang masing-masing dialami oleh para tokoh dan bagaimana mereka menyelesaikan permasalahan tersebut.
Sayangnya ada kata-kata yang ganjil dan kurang enak dibaca menurut saya ketika seseorang berbicara dengan orang yang disukainya, bukannya menggunakan panggilan ‘aku-kamu’ atau menyebut nama, penulis memilih menggunakan panggilan ‘gue-lo’ seperti ke seorang teman. Tapi tentu saja ini kembali ke selera bagaimana penulis ingin mengeksekusinya karyanya.
Meskipun masih ada beberapa typo di beberapa bagian,  overall saya enjoy sekali membaca buku ini. 264 halaman saya habiskan dalam sekali waktu dan dua kali duduk. Dan selama membaca buku ini juga, imajinasi saya dipenuhi dengan warna kuning yang cerah dan membawa kesan ceria.
Beberapa quotes keren yang saya ambil dari buku Magic Banana:
  1. Tapi bukankah seringnya cinta timbul dari hal-hal sederhana yang berujung rasa? (hal. 33)
  2.  Nggak ada yang mustahil selama kita mau berusaha. Jangan bilang ‘nggak’, tapi ‘belum’. (hal. 33)
  3.  Lo nggak tau sih rasanya cinta bertepuk sebelah tangan. Sakitnya tuh sampai bikin sulit napas. (hal. 42)
  4.  Solider itu nggak harus selalu sejalan dan sepemikiran, kan? Kadang perbedaan dibutuhkan sebagai pengingat. (hal. 45)
  5. Karena terkadang berpura-pura tidak tahu jauh lebih baik disbanding menyakiti seseorang dengan mengungkit hal yang berusaha kuat disembunyikannya. (hal. 50)
  6.  Kesederhanaan selalu jauh lebih bermakna dibanding kemewahan yang melenakan. (hal. 58)
  7. Cowok itu emang makhluk visual, tapi bukan berarti kami menjadikan penampilan sebagai patokan utama dalam memilih pasangan. Kalau udah jatuh cinta, kami nggak bakal peduli sama fisik atau apapun. (Hal. 67)
  8. Kadang perhatian aja nggak cukup buat bikin orang jatuh cinta. Meski udah jungkir balik usaha, kalau bukan jodoh, mau gimana lagi? (hal. 104)
  9. Kuning tuh punya arti kehangatan dan rasa bahagia. Warna itu juga punya makna optimis, semangat, dan ceria. (hal. 106)
  10.  Kadang cinta bermula dari hal-hal menyebalkan, dan itu tidak selalu berarti buruk. Banyak juga cinta yang berawal manis, namun berakhir miris. (hal. 133)

Dan masih banyak quotes keren lainnya. Baca sendiri aja yaaa...

[REVIEW] Momiji

Penulis             : Orizuka Penyunting      : Selsa Chintya Penerbit           : Penerbit Inari Penyelaras       : Brigida Ru...