Sunday 30 October 2016

[REVIEW] A Life Less Ordinary


Penulis             : Baby Halder
Penerjemah      : FX Rudy Gunawan
Editor              : Ratih Kumala
Proof Reader   : Gita Romadhona, Christian Simamora
Penerbit           : Gagas Media
Jml halaman    : 266 hlm, 14 x 20 cm
ISBN               : 979-780-274-4

Setiap perempuan dilahirkan untuk menjadi kuat. Tepatnya, setiap manusia dilahirkan untuk menjadi kuat.
(Pengantar)
___________________________________________________________________
SINOPSIS
Buku otobiografi merupakan kisah nyata penulis, Baby Halder, seorang gadis India yang tidak pernah sedikit pun memperoleh kasih sayang dari orang-orang terdekat yang diharapkannya. Di usia yang masih sangat kecil, Baby sudah ditinggalkan oleh ibu kandungnya dan ditelantarkan oleh ayahnya. Di usia belia, yaitu 13 tahun kurang, ia jatuh  ke tangan suami yang kerap memukulinya. Ia bahkan harus menanggung rasa sakit yang teramat sangat ketika harus melahirkan ketiga anaknya di usia yang masih sangat muda. Sempat terbesit dalam pikirannya  untuk meninggalkan kehidupan yang hanya memberinya rasa sakit fisik maupun kemiskinan, dan penderitaan. Namun jika ia pergi, kelak ketiga anaknya akan mengalami roda karma seperti hidupnya sekarang, maka ia pun memilih tinggal.
Di segala keterbatasannya, Baby tetap memperjuangkan pendidikan dan kehidupan yang layak bagi ketiga anaknya agar mendapatkan masa depan yang lebih baik, tidak seperti dirinya. Baby yang sangat menyukai sekolah, walau pun sekolahnya hanya sampai SD, tapi ia berusaha untuk mengajar dan memberi ilmu kepada anak-anaknya.  Karena perlakuan suaminya yang tidak pernah peduli padanya, bahkan sering sekali mengeluarkan kata-kata kotor kepada Baby dan sering memukuli Baby, akhirnya Baby pun mengambil keputusan besar yaitu pergi meninggalkan rumah dan suaminya.
Baby bekerja sebagai pembantu rumah tangga setelah ia pergi meninggalkan suaminya. Ia pergi dari satu rumah ke rumah yang lain hingga ia dapat memberikan uang sebagai nafkah untuk anak-anaknya meskipun kurang dari cukup. Ia juga tidak mendapat perlakuan yang tidak baik selama ia bekerja sebagai pembantu di beberapa rumah. Akan tetapi dengan tekad yang kuat untuk menghidupi ketiga anaknya, ia pun tidak menyerah dan putus asa dan memilih bersabar menghadapi cobaannya. Setelah beberapa kali berpindah tempat menjadi pembantu rumah tangga di beberapa daerah di Delhi, akhirnya ia pun bekerja di suatu rumah yang mengubah jalan hidupnya, yaitu rumah seorang lelaki muslim, Dr. Prabodh Kumar. Di tengah keluarga itu ia diperlakukan dengan sangat baik. Prabodh Kumar yang berprofesi sebagai penulis, menyadari bakat dan ketertarikan Baby terhadap sastra. Ia pun meminta Baby untuk menyalurkan dan mengasah bakatnya untuk menulis apa pun yang ingin ia tulis. Berkat dukungan dari orang sekitarnya, akhirnya Baby pun makin bersemangat untuk menulis dan terciptalah karya A Life Less Ordinary ini.
**********************
REVIEW
Sama seperti buku sebelumnya yang saya baca, Stolen Innocence, buku ini menceritakan tentang seorang wanita yang ingin keluar dari penderitaannya.  Berbeda dengan kisah Elissa di Stolen Innocence dimana dia berjuang keluar dari sekte ajarannya yang sesat, dalam buku ini Baby Halder berjuang untuk keluar dari penderitaan yang dialaminya di keluarganya sendiri. Dalam buku memoarnya ini, Baby berkisah tentang masa kecil yang dipenuhi pertengkaran orang tuanya, sampai kemudian ibunya pergi meninggalkannya dengan sang ayah yang tak peduli padanya dan memilih menikah lagi dengan wanita yang tak kalah kejam memerlakukannya.
Saya tersentuh dengan kecintaan Baby terhadap pendidikan dengan begitu besar. Baby yang masih polos menyukai sekolah dan pelajarannya. Namun sayangnya pendidikannya harus terhenti ketika ayah dan ibu tirinya tidak memberikan biaya sekolah lagi dan malah menikahkannya dengan lelaki yang tidak dikenalnya yang berusia belasan tahun lebih tua darinya, diusianya yang bahkan belum menginjak 13 tahun. Hati saya teriris ketika membaca Baby kecil yang dipaksa keadaan untuk bersikap layaknya wanita dewasa dalam waktu singkat. Merasakan penderitaan mengandung di usia yang sangat muda, merasakan kesakitan fisik akibat perlakuan suaminya yang kasar, dan penderitaan menghadapi kemiskinan yang tak berkesudahan.

Sekarang, jika memikirkan kembali peristiwa itu, Baby tak habis pikir bagaimana bisa ia melewatkan hari awal penderitaan itu dengan keriangan anak-anak? Tidakkah sedikitnya Baby tahu kalau hari itu adalah awal hari-hari kelabu penuh penderitaan sepanjang hidupnya? Tidakkah sedikitnya dia tahu masa depan yang menantinya sejak hari itu? Hari itu adalah hari rabu, tanggal 17, bulan Agrahayan, hari itulah dia dinikahkan. (Hlm. 57)

Membaca kisah Baby, rasa-rasanya masalah yang saya hadapi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengannya. Dan yang membuat saya terkagum-kagum lagi adalah semangat pantang menyerahnya menghadapi hidup. Apalagi dengan kehadiran ketiga anaknya yang semakin menguatkan dirinya untuk merubah hidupnya menjadi lebih baik dengan meninggalkan suami yang semena-mena padanya.


Lagi-lagi pemikiran Baby akan pentingnya pendidikan menyentuh hati saya. Mati-matian ia berusaha menyekolahkan anak-anaknya, dan mengorbankan dirinya sendiri dalam penderitaan sebagai pembantu rumah tangga demi sesuap nasi dan biaya pedidikan anak-anaknya.
Pelajaran yang saya ambil dari buku ini begitu banyak. Bahkan saya serasa mendapat siraman rohani setelah membaca buku ini. Pentingnya pendidikan bagi siapa saja, juga semangat juang seorang Baby Halder dalam menjani hidup sangat patut diacungi jempol. Baby memberikan pelajaran berharga bagi semua wanita, siapa saja yang hidupnya merasa bagai neraka, bahwa kita bisa merubah keadaan kita selama semangat untuk berjuang tidak padam. Very recommended untuk semua wanita di dunia.







[REVIEW] Stolen Innocence


Penulis             : Elissa Wall dan Lisa Pulitzer
Penerjemah      : Endang Sulistiyowati
Penyunting      : Titis Wardhana
Penerbit           : Dastan Books
Jumlah Hlm     : 404 hlm, 16 x 24 cm
ISBN               : 978-979-3972-79-4

Ini adalah kisahku. Setiap kejadian dijabarkan berdasarkan ingatanku dan memang benar-benar terjadi. Aku telah mengubah nama beberapa orang tokoh dalam kisahku ini untuk melindungi privasi mereka.
(Kata Pengantar)
_________________________________________________________________
SINOPSIS
Elissa Wall adalah mantan anggota sekte FLDS yang dipaksa menikah di usia 14 tahun. Terlahir sebagai anggota dari sekte poligami, tidak membuat Elissa secara otomatis menyetujui ajaran sektenya, di mana seorang suami harus memiliki minimal empat istri untuk dapat masuk surga.. Elissa terus menerus mempertanyakan ajaran sektenya yang tidak masuk akal, misalnya saja utusan Tuhan, yaitu sang Nabi yang dipanggil Paman Warren dapat memperistri wanita mana pun yang ia inginkan walaupun masih di bawah umur. Anak-anak dilarang bersekolah di sekolah umum. Dan sering kali, anak-anak perempuan dipaksa menikah saat mencapai umur remaja.
Ketika melihat Elissa memiliki sifat memberontak, Paman Warren menikahkan Elissa yang saat itu masih berusia 14 tahun dengan sepupunya yang bernama Allen, berumur 19 tahun. Pernikahan itu dilangsungkan secara diam-diam karena Elissa masih di bawah umur. Hampir tiap malam, Elissa diperkosa oleh Allen atas nama kewajiban sebagai anggota jemaah yang baik. Banyak sekali penderitaan dan tekanan yang dialami Elissa, sang pengantin belia, yang harus ia lalui hari demi hari, malam demi malam. Tapi Elissa tidak tinggal diam. Ia berjuang keras untuk mendapatkan kebebasannya sendiri, juga kebebasan rekan-rekannya sepenanggungan.
**************************

REVIEW
Pertama kali melihat buku ini saya tidak tertarik sama sekali dengan lebar dan tebalnya ukuran buku, yaitu 404 halaman, 16 x 24 cm. namun begitu melirik kover belakangnya, saya tak pikir panjang untuk langsung mengambil buku ini dari rak.
Ada dua hal yang membuat saya tergelitik dan tetiba ingin sekali membaca buku ini. Yang pertama karena sinopsisnya yang bikin saya menganga karena terkejut ada ajaran agama tertutup di Amerika yang sedikit sama dengan ajaran agama saya, yaitu boleh beristri empat, dan yang kedua karena buku ini ditulis oleh korban sendiri.
Buku ini merupakan autobiografi, dimana sang penulis, Elissa Wall sendiri merupakan mantan anggota kumpulan agama tertutup di Amerika yang bernama Fundamentalist Church of Jesus Christ of Latter Day Saints atau yang disingkat FLDS.  Ini merupakan kumpulan agama ortodoks yang mengamalkan poligami, padahal seperti yang diketahui selama ini, memiliki istri lebih dari satu merupakan kesalahan besar di Amerika yang menyandang paham monogami, atau beristri satu. Jadi ini merupakan sebuah ajaran sesat di Amerika, yang apabila tertangkap, para pelaku bisa dihukum dengan berat.


Buku ini menceritakan secara detail kisah hidup penulis ketika masih menjadi anggota FLDS. Dimana kehidupan mereka terasing dari orang lain, dan paham kumpulan mereka yang akan menjadi lebih terhormat di mata anggota kumpulan lainnya apabila mereka memiliki lebih banyak istri lagi dari yang lain. Apalagi Elissa menikah dibawah tekanan ketika umurnya masih sangat muda, yaitu 14 tahun.  Ketika umurnya sudah lebih matang, Elissa dengan keberaniannya mulai bekerja sama dengan aparat penegak hukum dan mengajukan tuntutan terhadap sistem FLDS. Hebatnya lagi, demi tercapainya hak-haknya sebagai wanita selama ini, juga demi memberikan hak-hak kepada wanita lain sesama anggotanya, Elissa pun mendirikan sebuah yayasan MJ untuk membantu dan mendukung para korban agar memulai hidup mereka kembali dari awal dengan benar.
Buku ini saya rekomendasikan untuk pembaca di atas umur matang karena ada banyak adegan seksualitas yang dipaksakan dan membuat hati saya miris ketika membacanya. Tulisannya yang runtut, jelas, detail, tanpa dikurangi mau pun ditambah, menjadi nilai plus bagi saya. Bahasanya yang asyik dan mudah dimengerti, didukung dengan alur cerita yang selalu dikejutkan dengan tugas-tugas yang harus Elissa lakukan sebagai jamaah yang baik, membuat saya betah untuk menyelesaikan bacaan ini dengan segera.  Terutama karena sudut pandang cerita memakai sudut pandang orang pertama ‘aku’, yakni Elissa sendiri, yang seolah memosisikan saya menjadi sosok Elissa dalam cerita. Bukan hanya mengurai simpati namun juga empati.  Dan kejutannya lagi, ada beberapa halaman berwarna di tengah cerita yang semuanya merupakan foto asli kehidupan Elissa, sebagai bukti bahwa kisah yang dia ceritakan dalam buku benar adanya.




Lima bintang saya berikan untuk buku ini.





Saturday 29 October 2016

[REVIEW] Love In The Kingdom Of Oil



Penulis             : Nawal El-Saadawi
Penerjemah      : Masri Maris
Penerbit           : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Halaman          : 252 hlm, 11 x 17 cm
ISBN               : 978-979-461-811-0

Berita itu muncul dalam surat kabar hari itu, bulan September. Hanya setengah baris, cetakannya pun kabur, bunyinya:
Seorang perempuan pergi cuti dan tidak kembali. (Hlm. 1)
_______________________________________________________________________

BLUR
Diceritakan dalam novel ini seorang perempuan di negeri Timur Tengah yang bekerja tidak selayaknya perempuan lain. Dia mengerjakan apa yang kaum lelaki kerjakan yaitu sebagai arkeolog, yang kemudian menghilang tanpa jejak, atau diduga cuti dengan alasan yang tak jelas. Para pembaca diajak mengalami alur cerita yang dialami perempuan tersebut secara tak lazim. Beragam pertanyaan menghinggapi benak kepolisisan yang menyelidiki kasus ini: apakah perempuan ini tipe pemberontak? Apakah ini sedang mengalami dilema moral? Tak seorang pun memahami bagaimana perempuan tersebut lenyap begitu saja, meninggalkan suami dan rumahnya.
****************

REVIEW
Seperti yang tertera di belakang kovernya, di novel ini penulis menyajikan genre satir surealis dengan memvisualkan hakikat berpikir. Novel ini merupakan novel terjemahan Mesir yang memiliki judul asli Al-Hubbu Fi Zamani An-Nafthi. penulis yang terkenal sebagai tokoh feminis di Mesir ini, menghadirkan keterkaitan antara perempuan dengan sejarah Mesir masa pra-Islam. Pada masa pra-Islam dulu, perempuan diposisikan sebagai imperior yang harus selalu tunduk atas perintah lelaki, sementara lelaki yang diposisikan sebagai superior bebas memerlakukan perempuan sekehendak mereka.

“Aku tak mengerti mengapa kau tidak membebaskan aku.”
“Membebaskanmu?”
“Ya. Aku manusia seperti kau, aku punya hak.”
“Apa?”
“Hak-hak perempuan! Apa kau tak tahu hak-hak perempuan?”
“Kami belum pernah mendengar hal seperti itu. Kami memiliki hak laki-laki. Hanya itu.” (Hlm. 68)

Novel ini merupakan cerita paling surealis yang pernah saya baca. Butuh pemahaman dan ketelitian tingkat tinggi untuk mengartikan setiap adegan pada alur cerita. Yang menarik, tidak ada satu pun nama tokoh yang disebutkan dalam novel ini. Hanya jenis kelamin dan profesi para tokoh saja yang disebutkan sebagai pengganti nama-nama mereka, seperti tokoh perempuan, suami, lelaki, komisaris polisi, atasan si perempuan, raja, para lelaki, dan para perempuan.

Perempuan itu terus melangkah, sambil berpegangan pada tali tasnya yang terjulai dari bahunya, seolah-olah ia sedang digerakkan oelh sesuatu yang tak kuasa ia lawan ke sebuah tuuan yang sudah pasti. (Hlm. 13)
Suami perempuan itu membisu, kedua bibirnya terkatup rapat. Matanya terbelalak seperti orang tersentak dari tidur. (Hlm. 3)
Atasan perempuan itu duduk bersilang kaki. (Hlm. 5)
Inspektur polisi mengangguk tanda mengerti. (Hlm. 5)

Tema novel ini kental dengan unsur feminisme yang menuntut persamaan hak perempuan dan lelaki, dimana seorang perempuan yang lazimnya tinggal di rumah mengurus suami, pada masa itu, namun ia malah bekerja sebagai arkelog dengan segala caci maki yang diterimanya di tempat kerja oleh para rekan kerjanya. Belum lagi tindakan sewenang-wenang suaminya yang pada masa itu dianggap hal lumrah, namun ternyata mengusik batin si perempuan.
Dengan keinginannya yang kuat untuk meraih kebebasan, akhirnya si perempuan pun meninggalkan rumah dan berkelana dengan menggunakan profesinya sebagai arkeolog untuk menemukan dan menggali patung dewa. Karena kepergiannya ini, berbagai pertanyaan pun menghinggapi benak kepolisian yang menyelidiki kasus ini. Mengganggap dia adalah seorang pemberontak, atau bahkan dia sedang gila. Bahkan media cetak pun menggembar-gemborkan masalah ini seolah-olah kepergian perempuan itu merupakan hal yang paling tak masuk akal dan  baru pertama kali dilakukan oleh perempuan masa itu, bahkan hingga sampai ke telinga raja dan mendapat perhatian sepenuhnya oleh penguasa tersebut.

Perempuan itu sedang berteriak-teriak ketika ia siuman. Di mana hak-hak perempuan? Ia sedang terbaring di tempat tidur. Di sekelilingnya ada perempuan-perempuan penjunjung tempayan. Di depan mata mereka ada awan. Selapis minyak hitam menutupi bola mata mereka, dan ada perintah dari Baginda Raja: ‘Setiap perempuan yang tertangkap dengan kertas dan pena dalam genggamannya akan dihukum’. (Hlm. 81)

Perempuan ini digambarkan sebagai sosok yang berani dan bermental kuat, yang ingin keluar dari keimperiornya selama ini. Ia ingin membuktikan bahwa perempuan pun bisa mengerjakan profesi laki-laki, dan perempuan pun adalah makhluk yang kuat sama seperti laki-laki dengan membuktikan bahwa dia bisa menerima siksaan batin dari rekan kerjanya di arkeologi. Bukan hanya itu, perempuan ini juga membuktikan bahwa ia memiliki hasrat yang sama seperti laki-laki untuk menjadi pemimpin misalnya, seperti keinginannya yang kuat pada saat itu untuk menjadi Nabi agar bisa menyembuhkan orang-orang.

“Apa katamu, Engkau ini bicara apa?”
“Aku akan menjadi nabi… agar aku dapat menyembuhkan orang.”
“Apa kau sudah gila? Tidak ada nabi perempuan.” (Hlm. 43)


Mengenyampingkan ceritanya yang surealis dan agak absurb menurut pemahaman saya yang dangkal, cerita ini memberikan pesan yang amat besar tentang asal mula perjuangan perempuan di Mesir pada masa pra-Islam, yang diceritakan penulis dengan gaya sastranya yang khas melalui tokoh perempuan. Penulis sendiri, yakni Nawal El-Saadawi memang terkenal melahirkan semua karyanya yang bertema tentang perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak-haknya. Ada banyak karya-karyanya yang disensor oleh badan Mesir dan dilarang di Saudi Arabia dan Libya karena terlalu jauhnya penulis sebagai pejuang hak-hak wanita, menulis karya-karyanya yang dinilai sebagian Negara tak pantas dibaca.
Novel Love In The Kingdom of Oil ini salah satu karya fenomenalnya yang menurut saya bukanlah bacaan ringan yang bisa dinikmati oleh semua kalangan. Novel ini benar-benar memvisualkan hakikat berpikir kita, sehingga dibutuhkan kehati-hatian, bahkan pengulangan bacaan agar bisa memahami isi cerita yang ingin disampaikan penulis. Untuk yang ingin mengetahui bagaimana gerakan Feminis lahir, atau yang tertarik untuk menganalisis Feminisme, novel ini saya rekomendasikan untuk anda.




Friday 28 October 2016

[REVIEW] Magic Banana



Penulis             : Ninna Lestari
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Jml Halaman   : 264 Halaman
ISBN               : 978-602-03-3393-9

Sinopsis

Kehidupan Rialfa Kaisar atau yang dipanggil Alfa, berubah 180 derajat sejak kematian saudari kembarnya, Alfi, karena kecelakaan.  Setelahnya, Alfa hidup dalam kubangan kesedihan yang berlarut-larut. Belum lagi dengan masalah ‘masa lalu’ dalam keluarganya yang kian membuatnya berubah menjadi sosok Alfa yang berbeda di mata para sahabatnya.
Banana adalah sosok siswi baru SMA  Cakrawala yang nyentrik dan penyuka warna kuning. Bukan hanya karena namanya yang berarti pisang, namun gadis itu memang sangat menyukai buah pisang dan selalu membawa buah itu kemana-kemana dan memakannya di berbagai kesempatan.
Bermula dari namanya yang unik, Banana dipertemukan dengan Alfa dan mendapatkan perlakuan usil dari lelaki itu. Alfa yang semakin senang mengganggu Banana ditiap kesempatan, sementara Banana yang merasa ketiban sial karena selalu dipertemukan tidak sengaja dengan lelaki itu, pada akhirnya selalu bertengkar untuk segala hal.
Apakah perasaan mereka akan berubah seiring pertemuan mereka? Atau selamanya akan menjadi seperti pasangan Tom and Jerry dalam cerita?
************
Magic Banana disajikan dengan bahasa yang ringan, khas anak SMA Ibu Kota, dengan bahasa sehari-hari yang mudah sekali dicerna. Sesuai dengan temanya, membaca buku ini memang membawaku kembali ke ingatan masa-masa SMA yang penuh warna. Banana di gambarkan sebagai siswi baru yang tidak segan-segan memamerkan hobinya makan pisang dan penampilannya yang nyentrik dengan serba kuning, juga sosok Alfa yang berperan sebagai senior yang otoriter terhadap juniornya, memang sangat tepat menggambarkan atmosfir anak muda SMA jaman sekarang.
Bukan hanya karena menceritakan tentang Banana, buku ini juga menyajikan pengetahuan penting tentang aneka macam pisang dan manfaatnya, yang seketika membuat saya tiba-tiba ingin memakan buah itu. Alfa diceritakan dengan pas sebagai seorang senior yang usil, namun banyak menyimpan kesedihan akan kematian saudarinya dan juga masalah lain dalam keluarganya. Penulis juga menggambarkan Sosok Alfa sebagai remaja yang selalu mengenakan jaket dan Beanie yang menjadi ciri khasnya di mata teman-temannya. Sementara sosok Banana dengan jiwa mudanya yang mambara, dan pantang menerima bullyan seniornya, juga digambarkan penulis dengan ciri khas yang menonjol sebagai penyuka pisang dan warna kuning. Namun menurut saya, di beberapa bagian, ucapan yang Banana  lontarkan terlalu dewasa untuk ukuran remaja kelas 10 SMA.  Terlalu berbeda dengan gambaran penampilan awalnya yang ceriwis dan agak childish.
“Berbeda bukan berarti nggak lebih baik. Kadang manusia itu terlalu pemalas, mereka Cuma menilai orang lain sekilas tanpa mau susah payah mengulas lebih dalam. Nggak selamanya yang tampak buruk di luar, buruk juga di dalam.” (Hal 95)
Buku ini juga kental dengan indahnya persahabatan di masa SMA. Penulis berhasil  membuat saya tersentuh dengan jalinan persahabatan yang terjadi pada kedua tokoh sentral.
“Sahabat yang baik itu bakalan marah saat salah satu sahabatnya berbuat salah, bukan malah membenarkan atau justru ikut-ikutan” (Hal. 115-116)


Tentunya penulis juga tak luput untuk menyajikan kisah cinta sebagai menu utama di dalam cerita. Buku ini mengajarkan kita untuk lebih jujur dan terbuka, juga mengajarkan untuk merelakan dan mengikhlaskan sesuatu. Semua pemeran, baik tokoh sentral mau pun tokoh pendukung diceritakan dengan apik oleh penulis tentang masalah perasaan yang masing-masing dialami oleh para tokoh dan bagaimana mereka menyelesaikan permasalahan tersebut.
Sayangnya ada kata-kata yang ganjil dan kurang enak dibaca menurut saya ketika seseorang berbicara dengan orang yang disukainya, bukannya menggunakan panggilan ‘aku-kamu’ atau menyebut nama, penulis memilih menggunakan panggilan ‘gue-lo’ seperti ke seorang teman. Tapi tentu saja ini kembali ke selera bagaimana penulis ingin mengeksekusinya karyanya.
Meskipun masih ada beberapa typo di beberapa bagian,  overall saya enjoy sekali membaca buku ini. 264 halaman saya habiskan dalam sekali waktu dan dua kali duduk. Dan selama membaca buku ini juga, imajinasi saya dipenuhi dengan warna kuning yang cerah dan membawa kesan ceria.
Beberapa quotes keren yang saya ambil dari buku Magic Banana:
  1. Tapi bukankah seringnya cinta timbul dari hal-hal sederhana yang berujung rasa? (hal. 33)
  2.  Nggak ada yang mustahil selama kita mau berusaha. Jangan bilang ‘nggak’, tapi ‘belum’. (hal. 33)
  3.  Lo nggak tau sih rasanya cinta bertepuk sebelah tangan. Sakitnya tuh sampai bikin sulit napas. (hal. 42)
  4.  Solider itu nggak harus selalu sejalan dan sepemikiran, kan? Kadang perbedaan dibutuhkan sebagai pengingat. (hal. 45)
  5. Karena terkadang berpura-pura tidak tahu jauh lebih baik disbanding menyakiti seseorang dengan mengungkit hal yang berusaha kuat disembunyikannya. (hal. 50)
  6.  Kesederhanaan selalu jauh lebih bermakna dibanding kemewahan yang melenakan. (hal. 58)
  7. Cowok itu emang makhluk visual, tapi bukan berarti kami menjadikan penampilan sebagai patokan utama dalam memilih pasangan. Kalau udah jatuh cinta, kami nggak bakal peduli sama fisik atau apapun. (Hal. 67)
  8. Kadang perhatian aja nggak cukup buat bikin orang jatuh cinta. Meski udah jungkir balik usaha, kalau bukan jodoh, mau gimana lagi? (hal. 104)
  9. Kuning tuh punya arti kehangatan dan rasa bahagia. Warna itu juga punya makna optimis, semangat, dan ceria. (hal. 106)
  10.  Kadang cinta bermula dari hal-hal menyebalkan, dan itu tidak selalu berarti buruk. Banyak juga cinta yang berawal manis, namun berakhir miris. (hal. 133)

Dan masih banyak quotes keren lainnya. Baca sendiri aja yaaa...

[REVIEW] Momiji

Penulis             : Orizuka Penyunting      : Selsa Chintya Penerbit           : Penerbit Inari Penyelaras       : Brigida Ru...