Dalam
diriku, mengalir campuran darah ayah dan ibu. Maka sejak 22 tahun yang lalu aku
mulai mengenal dunia. Menghirup udara melalui rongga dada dan merasakan
beratnya kehidupan ketika mulai beranjak dewasa. Ayah pergi meninggalkan aku saat usiaku
sekitar 6 atau 7 tahun ( entahlah, aku terlalu kecil untuk mengingat berapa
usiaku waktu itu). Maka sejak itu aku terlempar ke Karawang dan mulai membentuk
diriku sendiri tanpa orangtua. Dalam kehidupan pesantren kanak-kanak yang panjang namun terasa begitu singkat, aku
mulai memahami fakta bahwa aku harus bisa mandiri menyadari bahwa orangtuaku
hanya satu. Sepanjang usia itu aku dibekali dengan ilmu agama yang sedikit
besar dapat menopang kehidupanku diluar sana.
Setelah
lulus sekolah dasar, aku sudah mulai bisa menentukan kemana aku akan pergi. Aku
memutuskan untuk kembali ke kampung halaman dan melanjutkan sekolah di Madrasah
Tsanawiyah. Uniknya, di madrasah ini, meski sudah didunia luar, namun aku masih
bisa merasakan nafas pesantren yang baru saja kulalui hingga tanpa kusadari, di
sekolah inilah jati diriku mulai perlahan terbentuk. Merasa sangat nyaman
dengan kehidupan di sekolah ini, maka kuputuskan untuk melanjutkan ke Madrasah
aliyahnya juga. Lalu disinilah aku mulai merasa terbina oleh orangtua yang
berwujud sekolah.
Dalam
lingkungan yang benar-benar menomorsatukan agama ini, aku mulai berfikir untuk
lebih memahami kondisi hidupku saat ini. Sangat berat tentunya tumbuh besar
tanpa merasakan kasih orangtua seutuhnya. Namun ketika menengok lebih dalam
lagi, aku tahu bahwa kasih ibu padaku sudah melebihi batas hidupnya. Hal itu
dapat kulihat kerasnya beliau bekerja hingga tak ada sedikit waktu pun yang
bisa disisihkannya untukku. Maka, inilah aku. Dalam diriku.
Dalam
lingkungan keluarga, ibu bilang aku malas. Tapi bila menyimak kembali kisah
kecilku, mungkin hal itu terjadi karena tak ada seorang pun yang pernah
menyuruhku untuk bersikap lebih rajin. Aku terbiasa melakukan segala sesuatunya
sendiri hingga terkadang aku membantah jika diperintah. Ibu bilang aku kuper (kurang pergaulan) dan
itu bisa dibuktikan dengan betapa gapteknya aku. Tapi aku bisa membantah bahwa
aku begitu karena tidak adanya fasilitas mewah sepanjang perkembangan hidupku.
Ketika
singgah kerumah sahabat, bukan satu dua kali aku selalu ingin menangis karena
merasa irinya aku pada mereka yang hidup utuh bersama kedua orangtua. Tapi
terselip satu hal yang kusyukuri, bahwa kesendirian menjadikan aku lebih
mandiri. Aku adalah orang yang paling tak bisa jauh dari rumah. Namun jika
sudah berkumpul bersama teman-teman, rasanya niat untuk pulang saja tak ada.
Dalam lingkaran canda tawa dan suka duka bersama mereka, aku menemukan sosok
keluarga. Aku selalu ingin berlama-lama dengan mereka sampai lelah, hingga
batas waktu kerja ibuku selesai dan setidaknya aku bisa menemukan suara lain di
dalam rumah, bukan lagi hanya suaraku dan televisi saja.
Aku
orang yang tak mudah bergaul dengan lawan jenis. Aku sadar betul akan hal itu.
Sampai salah seorang sahabat dekat memvonisku takut pada pria. Sebenarnya tidak
seperti itu. Aku hanya merasa tidak pernah dalam separuh hidupku lebih mengenal
sosok laki-laki, bahkan ayahku sendiri. Tapi setelah kupikir-pikir, mungkin
karena ketidakhadiran ayah pula lah maka aku tak tahu sebenarnya para lelaki
itu seperti apa. Atau mungkin juga karena kebetulan semua sahabatku adalah
wanita. Entahlah. Aku sendiri tak tahu pasti apa alasannya.
Kembali
dalam diriku.
Aku
menemukan nafas ibu yang hampir habis karena aku. Maka hanya dengan
mengingatnyalah aku yang setegar ilalang kembali menjadi rapuh. Hanya beliau
alasanku untuk tetap bertahan menjalani kehidupan yang kurang beruntung,
seperti halnya beliau yang masih terus bertahan hidup demi aku. Jika berpikir
picik, aku bisa saja menghianati kepercayaan ibu lalu hidup bebas diluar sana,
melakukan sesuatu yang orang-orang tanpa kasih sayang lakukan, lalu hidup
seutuhnya demi kesenanganku. Tapi sayangnya, aku takan pernah bisa tega
melakukan hal itu. Bukan lantaran aku tak terbiasa bermain bebas diluar sana,
namun karena aku tahu perbuatan itu akan membuat murka tuhanku.
Aku
senang menjadi seseorang yang bisa diandalkan teman-temanku. Aku senang bisa
menjadi seseorang yang bisa menopang mereka dikala ada masalah. Sempat aku bertanya
mengapa mereka bisa mempercayakan kisah buruk mereka padaku. Namun seiring
berjalannya waktu, jawaban itu pun akhirnya terlintas sendiri. Benar, setelah
merenung, aku sadar mungkin karena takdir kelam hidupku, maka mereka berfikir
mungkin hanya aku orang yang tahu solusi permasalahan hidup mereka. It’s ok.
Aku senang karena setidaknya mereka membuatku berpikir bahwa ada gunanya aku
hidup di dunia. Bukan berarti aku orang yang tidak pernah mengeluh. Lebih
tepatnya aku orang yang selalu mengeluh. Pada ibu, teman, bahkan tuhanku. Aku
orang yang selalu menyusahkan orang lain. Lebih tepatnya, aku orang yang selalu
ingin didengar. Bahkan harus berteriak untuk mendapat perhatian. Sampai cap
cerewet pun akhirnya harus mau tak mau kusandang. Tahu hal beruntung yang
kudapatkan? Aku bisa bermanja sedikit pada mereka, sesuatu yang tak pernah
kudapatkan dari siapapun sebelumnya.
Aku
ingin sekali membahagiakan ibu. Setiap bait doa tak pernah lepas dari harapan
ingin mati sebelum beliau. Atau jika bisa aku ingin hidup selamanya sampai kami
berdua akhirnya bisa merasakan bahagia. Maka dari itu, aku adalah orang yang
sangat menghargai hidup. Terbukti aku sukses menjadi makhluk obesitas (sebenarnya tidak ada
hubungannya sama sekali). Bukan. Tapi aku orang yang sangat menikmati setiap
detik kehidupan. Langit, bumi, hutan, lautan, bahkan petir dan hujan adalah
sesuatu yang selalu tampak indah dan bermakna dalam kilasan mata. Aneh bukan?
Tapi itulah aku, dengan sisi teraneh dalam diriku. Dengan begitulah aku
berteman dengan semesta alam dan menklaim jauh sosok kesepian.
Beberapa
sahabat mengatakan bahwa aku cerdas. Hal inilah yang sulit kucerna dalam
pikiran. Apakah karena terbiasa menyelesaikan masalah ku sendirian? sebenarnya tidak juga. Bukan karena terbiasa
menyelesaikan masalah sendiri, tapi karena tidak ada orang yang benar-benar
mengerti dengan masalahku ini hingga akhirnya memang harus aku yang
menyelesaikannya sendiri. dan hal yang tak bisa kusangkal bahwa aku orang yang berfikir irit yang
ternyata dalam pandangan orang adalah pelit. Sebenarnya aku tak suka dibilang
begitu, karena sampai kapanpun mereka takan bisa mengerti betapa sulitnya hidup
yang aku jalani. Untuk hal ini, aku lebih rendah hati untuk menerima semua
cercaan buruk dalam diriku karena dengan begitu aku bisa terus ingat dan sadar
diri bahwa masih ada ibuku yang terus berjuang demi sesuap nasi.
Dalam
diriku, kutemukan sifat yang selama ini tersembunyi dan baru akhir-akhir
kusadari. Semua orang tahu dan mengerti. Semua yang mengenalku paham dan terus
mengumbarnya sampai aku bungkam dan sadar sendiri. katanya aku egois sekali.
Inginnya menang sendiri. inginnya dimengerti tanpa mau mengerti. Untuk hal ini,
aku sepertinya setuju sekali. Terbukti bukan dengan semua bantahan yang
kuucapkan disemua paragraf dalam ketikan tangan?
Sepertinya
saat ini aku tengah menyesuaikan diri dengan kepribadian ini. Semoga masih bisa
diperbaiki dikemudian hari. Yang pasti, tak pernah ada yang kusesali dari
pahitnya kehidupan yang kujalani. Karena semua yang telah kulewati telah
membentuk diriku menjadi seseorang yang seperti ini tanpa kusadari. Masih
banyak waktu untuk merubah kehidupanku yang suram menjadi terang benderang.
Akan ada waktunya. Pasti. Itulah yang kulakukan setiap hari. Bertawakal dan
berusaha menjemput janji tuhan yang indah
dalam hidupku dan dalam diriku.
ulasan yang sngat indah..teruslah berkarya, bawa nama bik indonesia :D
ReplyDeleteTerima kasih :)
Deleteulasan yang menarik..
ReplyDeletethx yaaa ;)
klik web ini http://mobildatsunbandung.com/
postingan mba keren banget () aku suka ;)
ReplyDeletemakasih ya mba :D
cek juga yuk http://obatdiabetesalamijg.com/