Friday 24 November 2017

[REVIEW] Momiji



Penulis             : Orizuka
Penyunting      : Selsa Chintya
Penerbit           : Penerbit Inari
Penyelaras       : Brigida Ruri
Jumlah Hlm     : 210 hlm, 19 cm
ISBN               : 978-602-60443-8-9

SINOPSIS
Patriot Bela Negara lelah punya nama seperti itu, terutama karena dia memiliki fisik dan mental yang sama sekali tidak seperti patriot, apalagi yang siap mambela negara. Seumur hidupnya, Patriot dioolok-olok hingga akhirnya, dia memutuskan memberontak. Dia jadi gandrung jepang, belajar bahasa Jepang, dan punya cita-cita pergi ke Jepang untuk bertemu Yamato Nadeshiko―tipe wanita ideal versi Jepang.
Diusianya yang kedua puluh, Patriot akhirnya berada selangkah lebih dekat dengan cita-citanya itu. Dia menginjak Jepang untuk ikut program pendek musim gugur di Osaka. Dan beruntung baginya, orang tua inang tepatnya homestay punya anak gadis seusianya.
Shiraishi Mimiji, gadis itu, mungkin adalah buah penantiannya selama ini.
…Atau mungkin bukan.
********************
REVIEW
Buku ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, yaitu Pabel. Pabel memiliki nama lengkap Patriot Bela Negara, dan karenanya dia selalu jadi bulan-bulanan orang-orang di sekitarnya. Dia kehilangan kepercayaan diri akibat namanya, dan memutuskan untuk hijrah sejenak ke Negeri Sakura. Ketenangan yang dia idam-idamkan pun hancur begitu bertemu dengan anak perempuan tempatnya bernaung, Momiji. Bersama gadis itu, Pabel mengalami perubhaan hidup yang membuatnya harus keluar dari zona nyaman berkali-kali.
Sosok Pabel, sebagai seorang lelaki, memiliki mental yang sangat lemah dan naïf. Ada banyak dari penggambaran Pabel yang kurang saya sukai. Karena saya sendir sebagai pembaca perempuan, geregetan kalau harus ketemu betulan dengan lelaki bermental cemen seperti Pabel. Selain keteguhannya mengejar cita-cita, sikap keseharian Pabel luar biasa membosankan. Dan seperti penggambaran sinopsisnya, sama sekali tidak bisa keluar dari zona nyaman. Tetapi mungkin karena alasan namanya yang memiliki arti berat-lah yang memengaruhi kepriadiannya menjadi demikian.
“Setelah melihatnya secara lebih saksama, aku setuju dengan Nanami-san. Dengan setelan semacam seragam bengkel serta masker hitam yang dia kenakan, rambut merah menyala, pedang bambu di tangannya, dan gaya bicara ala preman, gadis itu seperti yankii.” (Pabel; halaman 18)
Momiji memiliki arti nama yang sangat indah, yaitu perubahan warna daun menjadi merah. Namun sama hal-nya dengan Pabel, dia juga tidak menyukai namanya karena sesuatu. Momiji memiliki kepribadian yang cuek, kasar, dan menyebalkan. Dan ya, tingkahnya seperti preman. Namun disatu sisi juga bagi saya Momiji itu menggemaskan. Apalagi dengan rambut merah menyalanya.
Membaca novel ini serasa menonton dorama dan anime Jepang. Penulisnya sangat berhasil menumbuhkan minat saya untuk menyambangi negara tersebut. Apalagi di musim ketika Momiji terjadi. Rasanya keinginan saya untuk ke Jepang dari SMA dulu kian membesar saja. Karena saya memang penyuka anime, terutama Detective Conan, dan bercita-cita ingin ke museumnya di Jepang suatu hari nanti.
Saya suka dengan masing-masing karakter keluarga Shiraishi. Momiji yang sebenarnya sangat mirip ibunya, dan adiknya, Kazuki, mirip dengan ayahnya, Kento. Hal yang sering saya lihat di dorama Jepang, dan tipe keluarga sederhana dengan masalah sederhana. Saya salut sekali dengan penguasaan penulis akan tata bahasa Jepang yang banyak terselip, serta kehidupan di sana. Campuran antara kesal, gemas, dan geli karena humornya kena banget.
Sayangnya, perubahan alur waktu yang melonjak langsung kedua puluh enam hari kemudian, menimbulkan bermacam pertanyaan yang mengganjal, seolah penulis hanya ingin menampilkan awal dan akhir cerita saja. Proses perubahan karakter yang ketara sekali adalah Momiji. Sedangkan Pabel, proses perubahannya saya kira terlalu dipaksakan, hanya karena satu kejadian.
Selebihnya, saya terlalu terpukau dengan tingkah ajaib keluarga Shiraishi yang membuat Pabel kewalahan. Penyelipan kesenian Indonesia, Pencak Silat,bagi saya menjadi nilai lebih tersendiri, yang membuktikan bahwa sebenci apa pun Pabel dengan namanya, dia masih sangat bangga dengan negaranya.
Endingnya pas, dan meski mengawang-awang, tapi mampu membuat benak saya berikir akan kemungkinan-kemungkinan lebih jauh tentang hubungan Pabel dan Momiji, Cantik sekali.
4 bintang untuk buku ini.



[REVIEW] Misteri Bilik Korek Api



Penulis             : Ruwi Meita
Penyunting      : Tim Editor Fiksi
Penerbit           : Grasindo
Jumlah Hlm     : 236 hlm
ISBN               : 978-602-452-350-3

SINOPSIS
Sejak bayi Sunday tinggal dip anti asuhan sehingga dia sama sekali buta dengan Ambon, daerah asalnya. Sampai Emola datang, lalu mengingatkan Sunday dengan asal-usulnya yang samar.
Suatu hari mereka menemukan bilik penuh tempelan korek api saat pindah dip anti asuhan yang baru. Sejak saat itu, kecelakaan demi kecelakaan menimpa teman-teman sekamar Sunday. Sunday mencurigai Emola berkaitan dengan semua kesialan yang terjadi. Bagaimana tidak? Emola memiliki kepribadian yang misterius, minim bicara, dan hanya mendendangkan lagu daerah asalnya sambil menggenggam bandul kalung yang dibungkus kain putih.
Satu biji ketumbar, dua biji gardamu,
Siapa yang pegang batu, dia jadi semut
Cabu ruku rukuku
Cabu ruku rukuku

*******************

REVIEW
Cerita dibuka dengan kepindahan Sunday ke panti asuhan baru. Pengasuh sebelumnya, Bu Nasti, yang memiliki kepribadian buruk, memberi kenang-kenangan terakhir kepada gadis itu berupa nama asli Sunday dalam akte lahir yang ditinggalkan orang tuanya dulu. Nama aslinya inilah yang memengaruhi perasaan Sunday terus menerus.
“Bu Nasti tidak pernah baik kepadaku, juga kepada semua anak panti asuhan ini. Beberapa anak memanggilnya nenek sihir, tetapi aku lebih suka memanggilnya ubur-ubur kotak yang memiliki 24 mata” (Sunday; halaman 3)
Karakter Bu Nasti ini tipikal pendengki, yang seumur hidupnya dihabiskan di panti tanpa ada yang mau mengadopsinya, sehingga seiring berjalannya waktu, dia menjadi pengasuh dengan kepribadian buruk; pemarah dan selalu berkata ketus. Meski keberadaannya cukup singkat di awal, ternyata karakter ini akan berpengaruh besar di akhir cerita.
Penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga, Sunday dan Emola secara bergantian. Sempat kesulitan di bab pembuka dari sudut pandang Emola yang kebanyakan menggunakan bahasa Ambon, tapi lambat laun, mulai mengerti dengan istilah-istilah yang digunakan Emola untuk menggambarkan sekitarmya.
Sempat jengah juga ketika membaca bagian pertama, yang merupakan tahap pengenalan anak-anak panti dimana ada Linda, Cika, Berli, dan Kiki, sebagai tokoh pendukung sentral yang sangat memengaruhi cerita. Tetapi memasuki bagian kedua di halaman 89, sumpah saya tidak bisa berhenti membaca sampai bagian ketiga, keempat, dan habis begitu saja dalam tiga kali duduk. Kemungkinan karena faktor misteri adalah genre kesukaan saya juga, dan menantangnya, dibacanya malam-malam karena greget banget!
Bertolak belakang dengan cover dan penyajian tulisan yang kurang menarik mata, isi buku ini sungguh mewah. Tiap adegan yang disajikan detail dan teliti sekali. Penuh kejutan yang tidak disangka-sangka. Perubahan sudut pandang bergantian antara Sunday dan Emola pun saya anggap sangat cerdas.
Membaca buku ini seperti membaca retelling dongeng “Gadis Korek Api” versi horror Indonesia. Semacam Hansel and Gretel atau Snow White yang diangkat ke layar lebar dan mengalami perluasan cerita yang lebih detail dan ciamik. Tentu saja, karena dalam cerita ini, buku “Gadis Korek Api” memang menjadi benda penting yang memengaruhi misteri yang terjadi.
Wajib baca!
Kisah romance yang diselipkan antara Sunday dan Nugi sungguh  pas sekali. Tidak berlebihan, apalagi mendominasi tema horornya. Membaca adegan mereka yang terjebak dalam  friend zone, bikin gemes dan keki. Apalagi tingkah Sunday yang seolah tak acuh dengan kondisi mereka tersebut. Typo pun hampir tidak saya temukan. Seperti pada halaman 93:
“Tikus Cika berjalan ke arah Tikus Cika yang sedang asyik mewarnai prakaryanya” (Emola; halaman 93)
Mungkin seharusnya: “Tikus Cika berjalan ke arah Tikus Berli yang sedang asyik mewarnai prakaryanya.”
Satu-satunya hal yang kurang terungkapkan adalah alasan orang tua Sunday memberinya nama aneh untuknya. Yaitu Busu yang memili arti busuk. Selebihnya, novel ini sukses bikin merinding bulu roma.
4,5 bintang untuk novel ini.






[REVIEW] Love Theft



Penulis             : Prisca Primasari
Penyunting      : Nur Aini, Elly Putri Pradani, Adelaine
Penerbit           : Penerbit Inari
Penyelaras       : Seplia
Jumlah Hlm     : 406 hlm, 19 cm
ISBN               : 978-602-6682-07-9

SINOPSIS
Frea Rinata memutuskan untuk cuti dari kuliah music dan mengistirahatkan biola Stradivarius-nya. Untunglah dia punya kehidupan kedua yang lebih menarik, melibatkan seorang pemuda yang dipanggil Liquor, yang dicintai Frea tanpa sadar. Pemuda itu bergabung dalam perkumpulan pencuri, tapi yang dia curi bukan benda-benda biasa.
Saat Liquor mencuri sebuah kalung mewah milik seorang gadis terkenal, masalah demi masalah pun terjadi. Ketika keadaan semakin runyam, apakah Frea masih berpikir bahwa kehidupan keduanya bersama liquor itu semenarik yang dia pikirkan?
**************
REVIEW
Buku ini menceritakan tentang sekelompok pencuri professional yang menargetkan orang-orang konglomerat sebagai sasaran mereka. Adalah Liquor dan Night (bukan nama sebenarnya), dua dari anggotapencuri yang terlibat dalam pencurian kalung seorang gadis konglomerat yang manja, yang nyatanya tidak berakhir sesedrhana yang mereka kira. Dan Frea, sebagai keponakan kepala anggota pencuri itu harus terlibat dalam kepelikan mereka.
Cerita ini menggunakan Frea sebagai sudut pandangnya. Sosok Frea sendiri menurut saya cukup naïf tapi pemberani, karena terlibat dengan sekelompok pencuri profesional. Kemudian Liquor yang digambarkan sebagai lelaki pendiam namun teliti, selalu menggunakan ngengat untuk mengelabui mangsanya ketika mencuri, dan terlalu tenggelam dalam masa lalu sehingga enggan menatap ke depan. Dengan kepribadian seperti yang digambarkan, Liquor memang tampak cool, karena memang dia tampan dan mudah memikat lawan jenis, namun ternyata bagi saya pembaca, dia cukup menyebalkan. Apalagi jika berkaitan dengan Frea.
“Dia pemuda yang sangat menarik, yang setiap bagian wajahnya bak pahatan proporsionla. Mata, hidung, serta bibir, semuanya pas. Tidka terlalu tampan hingga membuat bosan, tapi juga tidak bisa dibilang biasa saja. Rambutnya kemerahan, tampak alami dan bukan produk cat mahal. Sering kali, aku berpikir dia blesteran. Pakaian favoritnya jaket dengan corak garis-garis hitam-putih, juga sarung tangan hitam. Panggil saja dia Liquor. Bukan nama sebenarnya.” (Frea; halaman 14-15)
Udah ketebak banget kan, si Frea suka ke Liquor?
“Tubuh Night ramping. Rambut pria muda itu hitam pekat menyentuh bahu, dengan model berlapis dan poni panjang yang membingkai wajah eloknya. Kulitnya begitu putih hingga semua orang bisa menebak dia bukanlah orang Indonesia. Mata hitamnya sangat dalam. Kemeja dan jinsnya bernuansa gelap, heboh dengan aksesori-aksesori perak dan intan. Sarung tangannya berbahan kulit mengkilat.” (Frea; halaman 19)
Sosok Night adalah tipe saya. Dia adalah pianis yang karena sesuatu malah menjadi pencuri. Kupu-kupu adalah binatang andalannya untuk mengelabui. Dan yang sangat disayangkan, dia sudah beristeri dan amat setia padanya. Pribadi Night sangat blak-blakan, terutama jika menyangkut hubungan Frea dan Liquor. Tetapi dia sendiri justeru sangat tertutup dengan masalah pribadinya.
Ini adalah karya Prisca pertama yang saya baca (padahal saya duluan punya Purple Eyesnya, tapi belum sempat baca karena kondisi), dan saya jatuh cinta pada covernya yang cantik dan ada biolanya (Karena saya memang penyuka biola). Novel ini berhasil menggelitik saya untuk baca tanpa menyampulnya terlebih dahulu, seperti kebiasaan saya sebelumnya, dan akhirnya malah ketumpahan air segelas, lalu butuh waktu sebulan sampai saya bisa melanjutkan baca lagi. (Curhat colongan).
Saya suka dengan tata bahasanya yang terkesan seperti terjemahan, padahal bukan, tapi ringan dan manis banget. To the point dan gak berbelit. Meski alurnya saja yan rada berbelit. Kebanyakn typo ada dipenggunaan tanda “-” yang tidak seharusnya. Karena tanda itu seharusnya untuk menyambungkan jeda kalimat di akhir baris, saya justeru banyak menemukan di tengah baris. Sayangnya saya lupa menandai ada di halaman berapa saja typo seperti ini.
Eksekusi akhirnya juga kurang memuaskan menurut saya. Dengan kepribadian Liquor dan Night, sungguh mengecewakan mereka tidak membalas apa-apa pada Coco. Namun sepanjang cerita, dibuat gemas dengan kisah cinta mereka, baik itu Liquor dan Frea, maupun Night dan isterinya.
Satu sosok lagi yang sukses memanjakan mata saya adalah Tarantula. Sikap konyolnya memberikan rasa segar pada buku ini. Dan tiap teknik mencuri yang tersaji, ciamik sekali. Penulis menjabarkannya dengan detail, simple, dan sangat mudah di mengerti.
4 bintang untuk buku ini.




[REVIEW] Momiji

Penulis             : Orizuka Penyunting      : Selsa Chintya Penerbit           : Penerbit Inari Penyelaras       : Brigida Ru...